Jebakan dalam Re-branding

Pernah dengar nama Angeliq? Saya yakin Anda masih samar-samar mendengarnya. Tetapi, kalau yang disebut itu adalah Angel Lelga, Anda semua pasti mengenalnya. Padahal, Angeliq dan Angel Lelga itu satu orang. Bukan kalau siang namanya Angeliq, lalu malam Angel Lelga. Bukan. Nama Angeliq dipakai setelah mantan istri raja dangdut Rhoma Irama itu menanggalkan merek Angel Lelga.

Nah, perubahan merek Angel Lelga menjadi Angeliq yang diumumkan pada September 2008 itu dalam teori marketing disebut re-branding. Dan, Angeliq adalah salah satu contoh dari teori re-branding. Biasanya, langkah ini menjadi pilihan tatkala penyandang merek berharap citranya akan lebih baik dan tepat di mata para penggemar (konsumen).

Begitu pula dengan produk dan jasa, keputusan mengubah merek acap kali dijadikan prasyarat penting dalam bertransformasi. Tentu saja penyebabnya beraneka-ragam, mulai dari cakupan bisnis yang terlalu sempit, restrukturisasi organisasi, merger dan de-merger, persepsi negatif pasar, sampai akibat dari tuntutan perkembangan teknologi sehingga merek lama dirasa sudah tidak relevan.

Barangkali contoh re-branding yang menarik untuk disebutkan di sini, antara lain Handyplast (menjadi Hansaplast), BLA (Citrus Publishing), British Gas (BG dan Centrica), Gardner Merchant (Sodexho), WorldCom (MCI), Northwest Airlines (NWA), Kentucky Fried Chicken (KFC), Tarmac (Carillion), The Spactis Society (Scope), dan Philip Morris (Altria). Merek Philip Moris, misalnya, kemudian hanya dipakai untuk divisi rokok, sementara induknya menggunakan nama Altria.

Sederet merek itulah yang memang sukses menjalankan proses re-branding. Kini konsumen mengenalnya sebagai Hansaplast, bukan Handyplast lagi, bagi merek plester obat luka. KFC akan lebih mudah diingat dan diucapkan daripada Kentucky Fried Chicken. Philip Moris sekarang dikenal sebagai raja rokok kelas dunia, termasuk menguasai kepemilikan HM Sampoerna di Indonesia. Di negeri ini, Panasonic dapat menjadi contoh yang sukses re-branding dari merek National.

Di berbagai merek yang sukses itu, mungkin saja Accenture yang terbanyak dikupas dan disimak . Merek jasa konsultasi serta solusi manajemen dan teknologi tersebut berhasil melakukan re-branding, restructuring, dan repositioning secara efektif pasca-bercerai dari Anderson Worldwide Societe Cooperative (AWSC). Accenture terdiri dari dua kata, yakni Accent dan Future, yang langsung dikomunikasikan secara masif ke seluruh dunia. Akhirnya, saat Accenture menanggalkan slogan ”Formerly known as Anderson Consulting” pada akhir Maret 2001, tidak menjadi satu masalah bagi merek.

Persyaratan re-branding
Secara teoritis, sebenarnya ada tiga persyaratan utama yang hukumnya wajib dipenuhi setiap melakukan re-branding. Pertama, re-branding bukanlah sekadar lipstik. Jadi, perubahan merek tidak bisa sekadar bertujuan untuk menutup-nutupi  citra negatif, krisis reputasi, cacat produk/jasa, ataupun skandal produk . Re-branding mesti diikuti perubahan mendasar pada beberapa aspek utama agar re-branding bisa berhasil.

Kedua, peluncuran merek pengganti harus dilakukan secara berhati-hati, bahkan tidak bisa tidak mengabaikan riset dan analisis mendalam.  Kajian atas global trademark dan ketersediaan URL (Uniform Resource Locators) harus dipikirkan secara mendalam. Ketiga, merek pengganti mesti lebih baik daripada sebelumnya: tidak boleh inoffensive, diusahakan singkat dan jelas, gampang diingat, dan mudah diucapkan oleh pasar di semua negara tempat merek tersebut dipasarkan. Pemilihan nama merek spektrumnya bisa deskriptif, asosiatif ataupun free standing.

Jebakan re-branding
Proses re-branding memang memerlukan biaya dan pemikiran yang tidak murah dan tidak sebentar. Meski demikian, seperti upaya pemasaran lainnya, hanya ada dua kemungkinan di ujungnya: berhasil atau gagal. Sebab, re-branding juga memiliki tingkat risiko kegagalan yang tinggi. Oleh karena itu, berikut ini adalah empat perangkat re-branding yang harus dihindari, yaitu Heritage Re-branding Trap, Merger Re-branding Trap, Celebrity Re-branding Trap, dan Global re-branding trap.

Pertama, Heritage Re-branding Trap. Setiap upaya re-branding harus dilandasi pemahaman detil atas persepsi dan opini konsumen terhadap merek perusahaan, baik yang lama maupun baru. Salah satu aspek krusial dalam warisan kultural dan historikal merek perusahaan adalah nasionalitas merek. Lihatlah perusahaan- perusahaan milik negara Inggris, dalam beberapa tahun terakhir mereka berbondong-bondong menghilangkan atau menyamarkan ciri ”Britishness” di tubuh mereknya.

British Telecom, British Petroleum, dan British Gas terpaksa menerima kecaman dari rakyat Inggris setelah ketiganya menghilangkan kata British dalam namanya dalam upaya untuk menciptakan citra merek global. Media massa setempat pun turut mengecam habis-habisan ”ulah” mereka lantaran dianggap melecehkan warisan budaya. Rakyat dan media massa negeri itu menilai bahwa pada masa kejayaan kerajaan dahulu, perusahaan-perusahaan Inggris justru berebut untuk menggunakan kata British, Imperial, atau Royal sebagai mereknya.

Kedua, Merger Re-branding Trap. Merger kerap kali diikuti dengan aksi re-branding. Pada umumnya perusahaan hasil merger ingin mempertahankan ekuitas dan nilai merek lamanya. Dengan menggabungkan kedua nama lama, perusahaan baru berusaha menciptakan persepsi bahwa nama baru tersebut merupakan hasil penggabungan kekuatan dua merek kokoh. Sayangnya, kadang kala strategi ini tidak berjalan seperti yang dipikirkannya. Dulu ada nama ITT-Sheraton hotel, tetapi perlahan lahan akhirnya penggabungan dua merek tersebut ternyata membingungkan konsumen, sehingga akhirnya tetap menggunakan Sheraton Hotel. Demikian juga merger bank investasi Morgan Stanley dan broker ritel Dean Witter ditahun 1997, semula mereger tersebut menggunakan na,ma Morgan Stanley, Dean Witter, Discover and Co, akhirnya terakhir hanya menggunakan nama Morgan Stanley.

Ketiga, Celebrity Re-branding Trap. Dalam rangka meremajakan kembali produk atau merek yang sudah loyo, tak jarang perusahaan terpikat untuk memakai selebriti. Gagasan ini sebenarnya bagus, mengingat pamor selebriti berpotensi mengangkat citra merek dan produk di mata konsumen, khususnya apabila ada keterkaitan erat antara selebriti dan produk yang didukung. Namun, semata-mata bergantung pada selebriti juga berisiko besar. Jebakan akan muncul pada saat integritas artis menurun, sehingga dampaknya akan mengakibatkan pada penurunan penjualan. Inul KTV akan bermasalah jika integritas penyanyi Inul menurun, sehingga harus selalu dijaga integritasnya. Dulu, STIE IBII juga pernah ingin melakukan re-branding menjadi Institut Bisnis Kwik Kian Gie, tetapi akhirnya tidak jadi karena Kwik Kian Gie adalah ekonom besar dan sekaligus politisi. Hal ini bisa terjebak dan bisa menurunkan IBII , akhirnya namanya diganti menjadi Institut Bisnis dan Informatika Indonesia.

Keempat, Global re-branding trap. Pemasar merubah nama mereknya karena faktor standardisasi global dalam upaya menciptakan citra merek global. Faktor sosial dan budaya suatu negara menjadi penghambat bagi pemasar yang ingin melakukan standardisasi. Pergantian nama Saripuspa menjadi soffell adalah karena ingin menciptakan image merek global, dan berhasil. Tetapi ada yang gagal seperti Kellogg’s yang berusaha merubah salah satu produknya Coco-Pops di Inggris pada tahun 1999 agar seragam di pasar Eropa, menjadi Choco Krispies. Hasilnya gagal total, penjualan menurun, konsumen lebih suka nama yang lama.

Maka dari itu, lakukanlah proses re-branding dengan benar. Sebab, banyak jebakan yang siap menghadang langkah Anda tersebut. Sehingga berhati-hatilah untuk menghadapi itu semua.

(www.marketing.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar