Gaya Kepemimpinan Honda


Gaya kepemimpinan Soichiro Honda di masa awal berdirinya Honda cenderung keras dan otoriter. Saya tidak akan mengatakan bahwa gaya kepemimpinan otoriter ini jelek tanpa melihat situasi yang terjadi. Honda Motor Company waktu itu adalah perusahaan kecil yang harus berjuang mati-matian supaya dapat bertahan hidup. Malangnya, Soichiro mempunyai prinsip “Terbaik di Dunia” sehingga tidak ada kata cukup dengan hanya bisa bertahan. Dia dan mereka harus menjadi nomer satu. Tidak ada nomer dua...tiga...dan empat....Kondisi saat inilah yang menyebabkan dirinya bertindak keras terhadap karyawannya. Malahan, kadang-kadang bisa dibilang kerterlaluan ! Tetapi apa yang anda harapkan dari seorang pemimpin berusia 42 tahun yang memiliki tujuan hidup begitu besar ? Menjadikan Honda sebagai pabrikan otomotif terbesar di dunia...mengalahkan Toyota dan General Motor ? Padahal waktu itu Honda adalah perusahaan rumah tangga dengan karyawan kurang dari 100 orang. 

Saya rasa semua faktor inilah yang menyebabkan gaya kepemimpinan Soichiro cenderung keras dan otoriter. Selain diburu dengan usia...dia juga mempunyai karyawan – karyawan yang harus digaji. Kabar baiknya...generasi pertama yang langsung dididik oleh pendiri Honda ini banyak diincar oleh perusahaan otomotif lainnya karena mereka tangguh dan cerdas. Siapa bilang gaya kepempinan otoriter itu jelek ? 
 
GAYA KEMPIMPINAN SOICIHIRO
Soichiro dibesarkan sebagai anak pandai besi. Dalam dunia kerja magang, para pekerja magang yang masih muda berlatih keras selama bertahun-tahun di bawah gemblengan guru mereka, perlahan-lahan menguassai kehalian yang dibutuhkan melalui latihan berulang-ulang. Di sana, nilai seseorang diukur dari keahlian yang dia dapatkan. Ketika Soichiro memimpin Art Shokai cabang Hamamatsu, dia selalu mengawasi para pekerjanya, dan jika ada yang malas-malasan, dia tidak segan melempari palu atau kunci Inggris ke arah orang ini. Gaya Soichiro yang keras dan cenderung sinting ini menyebabkan karyawan jarang betah bekerja. 


Gaya kepemimpinan Soichiro di Honda pun tidak jauh berbeda. Dengan tubuh dibalut baju bengkel berwarna biru, dia sendiri menginspeksi jalur-jalur conveyor, mengawasi para pekerja. Sangat jarang dia malas melempari omelan – atau barang – kalau ada yang meninggalkan perkakas kerja tergeletak sembarangan. Dalam salah satu amukannya, dia menghajar kepala seorang pekerja dengan penggaris segitiga besar, atau menyakiti pekerja dengan palu yang dia lempar.  Cerita semacam itu, dan juga fakta kalau Soichiro terus berkata kepada para karyawan kalau mereka harus “bekerja demi diri merek sendiri, bukan demi perusahaan, “ menunjukkan bahwa dia melihat hubungannya dengan para pekerja tak ubahnya hubungan antara seorang guru dengan para siswa magangnya.

Kelemahan Soichiro adalah tempramennya yang mudah meledak. Dia tidak bisa mengendalikan diri saat marah, dan situasi akan sangat buruk. Ketika dia sangat kesal pada seorang anak buahnya dia bisa berteriak, “Saya minta surat pengunduran diri Anda! Pergi sana !” bingung oleh amarahnya, beberapa pekerja memang membuat surat pengunduran diri itu dan menyerahkannya kepada Soichiro di kantornya. Ketika itu terjadi, Soichiro telah kembali tenang dan lupa dengan apa yang dikatakannya, dia pun meminta maaf dan itu adalah akhir cerita.

Kepribadian Soichiro yang tempramen itu membuatnya dijuluki “Geledek” oleh para karyawan yang takut kepadanya. Namun, dia juga adalah pribadi yang mudah didekati dan jujur, bahkan kepada para pekerja yang baru sekalipun. Cukup sering terdengar ucapan penuh hormat “pak tua” keluar dari mulut para karyawan.

Walaupun tampak spontan, Soichiro punya filosofi tersendiri ketika mengamuk di hadapan para karyawan. Ketika ada satu orang saja yang akan dia amuk, dan jika orang itu memiliki potensi ataupun tidak kompeten, dia selalu memberi jalan keluar kepada targetnya itu. Jika ada dua atau lebih orang yang perlu didisiplinkan, Soichiro tahu seluruh pabrik akan mendengar amarahnya sebelum hari kerja berakhir dan menghitung ucapan dan tindakannya. Dia memilih target yang paling mudah dan memperingatkan mereka karena melakukan kesalahan yang bisa dilakukan oleh semua orang. Karyawan malang yang dipilih sebagai target hanya dijadikan contoh supaya semua orang memperhatikan.

GAYA KEPEMIMPINAN FUJISAWA
Fujisawa juga bisa menjadi momok bagi para karyawan, seperti halnya Soichiro. Para karyawan benar-benar lari pontang-panting ketika mereka melihat matanya melotot marah dengan mulut terbuka. Mereka menjulukinya “Godzilla






Fujisawa berkunjung ke berbagai cabang Honda di Nagoya, Osaka dan banyak kota besar lainnya paling tidak sekali atau dua kali sebulan. Kunjungannya selalu ditemani oleh gemuruh. Alasan dari gemuruh ini terkadang tidak penting. Jika dia menemukan meja yang berantakan, dia akan membanting semua yang ada di atas meja tersebut, satu per satau, ke lantai. Kemudian, dia akan mulai berpidato panjang tentang apa sebenarnya pemasaran. Setelah itu, dia akan mendengar berbagai laporan dari staf penjualan. Jika Fujisawa menemukan salesmannya hanya mencari jalan mudah, salesman itu akan kena amuk – walaupun tingkat penjualan lebih baik dari sebelumnya.

Setelah mengenalnya, pra salesman Honda sadar kalau semua teriakan dan bentakan hanyalah cara Fujisawa melatih mereka. Tidak lama kemudian, setelah paham motif Fujisawa yang sebenarnya, mereka mulai mencatat semua ocehannya. Ini membuat Fujisawa semakin berapi-api dan berteriak, “Tugas seorang salesman adalah menarik perhatian konsumennya ! Bagaimana mungkin kalian melakukan itu tanpa melihat mata mereka ! Kalau kalian terus-terusan mencatat, kalian tidak akan menjual apa-apa.” Para pekerja langsung meletakkan pena mereka dan dengan gugup memandang wajah Fujisawa dan mendengar dengan seksama. Hanya jeda sejenak, Fujisawa melanjutkan, “ Honda bukan perusahaan pemakaman. Semuanya tunjukan senyum kalian. Semuanya senyum!”.

Setiap kali Fujisawa meledak, berita tersebut tersebar ke seluruh perusahaan, bukan hanya bagian penjualan tetapi juga di pabrik-pabrik dalam hari itu juga. Seperti Soichiro, Fujisawa pun paham tentang ini, dan tidak pernah mengamuk karena subjek yang sama dua kali walaupun terjadi di kantor yang berbeda. Sambil minum-minum seusai kerja, para salesman menggerutu membandingkan omelan Fujisawa dengan lonceng di kuil Buddha yang sama-sama punya tendensi terus bergaung di dalam benak semua orang dalam jangka waktu yang lama. Semuanya tahu dampak perkataan Fujisawa akan semakin membesar. Jadi, para salesman biasanya minum sebanyak-banyaknya di hari semacam itu.

Tujuan Fujisawa adalah mempromosikan atmosfer yang subur bagi berbagai ide Soichiro dan pada saat yang sama membangun kerangka kerja yang solid bagi organisasi sehingga Honda akan mampu menjaga vitalitasnya sebagai perusahaan berukuran sedang. Melatih para karyawan melalui omelannya adalah bagian dari rencananya ini.

Soichiro dan Fujisawa berbagai tujuan yang sama : memperbesar Honda. Keduannya menggunakan “Terbaik di dunia” sebagai kata kunci mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar