Di balik berbagai prestasinya di dunia bisnis, strategi grup
perusahaan Astra adalah “mata kuliah” manajemen yang layak dipelajari,
bukan hanya korporasi tapi juga oleh individu.
Siapa tak kenal Astra? Salah satu perusahaan terbaik di Indonesia ini
menguasa berbagai lini usaha, mulai dari otomotif, alat berat dan
pertambangan, agro-industri, teknologi informasi, jasa keuangan, sampai
infrastruktur.
Apa kunci sukses Astra? Subagio Wirjoatmodjo, salah satu perumus
strategi manajemen Astra, meringkasnya dalam dua ungkapan popular: to do
the right things and to do the things right. Astra melakukan hal-hal
yang benar. Yang pertama berkaitan dengan manajemen.
Semua pilihan bisnis Astra didasari atas visi jauh ke depan. Tidak
hanya melihat ke beberapa tahun di depan, tapi sampai beberapa decade ke
depan. Saat didirikan oleh keluarga Willian Soerjadjaja tahun 1957,
ketika karyawan belum genap sepuluh orang, William membubuhkan kata
“International” dibelakang “Astra”. Ini adalah pandangan visioner
mengingat saat itu Astra hanyalah sebuah usaha dagang kelas toko
kelontong. Tapi William sudah melihat ke masa belasan tahun ke depan.
Satu decade kemudian, visi ini benar-benar terbukti saat Astra menjadi
agen tunggal Toyota, Honda, Daihatsu, dan alat berat Komatsu.
Jangan bayangkan produk-produk itu di awal 1970-am adalah merek-merek
ternama. Saat itu, produksi Jepang masih dipersepsi sebagai barang
murahan karena diyakini dibuat dari besi bekas. Mirip seperti persepsi
terhadap “produk Cina” beberapa tahun yang lalu. Namun, Astra melihat ke
masa sepuluh hingga dua puluh tahun ke depan. Sekarang terbukti, semua
merek itu menjadi pemimpin pasar di Indonesia.
Saat komoditas batubara dan kelapa sawit belum diminati, di tahun
1980-an Astra sudah terjun ke bidang-bidang ini. Di masa awal, investasi
di bidang ini belum begitu kelihatan hasilnya. Satu decade kemudian
visi ini baru terbukti. Minyak sawit dan batubara menjadi komoditas
primadona.
Di tingkat individu, visi jauh ke depan ini bisa kita terapkan dengan
mengajukan pertanyaan sederhana kepada diri sendiri, “Dengan profesi
yang kita tekuni sekarang, kira-kira kita akan menjadi orang seperti apa
di masa sepuluh hingga belasan tahun ke depan?” Memilih profesi yang
tepat adalah bentuk realisasi “to do the right things”.
DON’T BLAME OTHERS
Agar berhasil, memilih portofolio yang tepat harus diikuti dengan
manajemen yang tepat (to do the things right). Selama lima dasawarsa
berdiri, Astra sempat menerapkan beberapa strategi manajemen. Yang
paling terkenal adalah Total Quality Control (TQC). Strategi ini
diterapkan tahun 1981, setelah Astra belajar TQC dari
perusahaan-perusahaan Jepang. Di Indonesia, Astra adalah perusahaan
pertama yang menerapkan TQC. Di lingkungan Grup Astra, strategi TQC ini
pertama kali diterapkan oleh PT United Tractors, anak perusahaan yang
bergerak di bidang alat berat.
Strategi manajemen ini didasarkan pada beberapa prinsip yang semuanya
bisa diterapkan di tingkat individu. Sekalipun kini kemasan ilmu
manajemen sudah banyak berubah, prinsip-prinsip dasar TQC ini masih
sangat relevan kita praktikkan sekarang.
Prinsip pertama, don’t blame others. Jangan
menyalahkan pihak lain. Jika ada masalah, lakukan instrospeksi lebih
dulu, lihat diri sendiri, apakah telah melakukan kesalahan. Dalam
kehidupan sehari-hari kita sudah biasa mendengar ajaran kebajikan ini.
Namun, kita jarang menjadikannya sebagai prosedur tetap di kantor. Di
Astra, nilai ini secara sistematis diinternalisasikan menjadi budaya
kerja.
Pelajaran ini penting, terutama buat kita yang terbiasa menggunakan
kalimat, “Saya sudah benar, dia yang salah.” Misalnya, jika angka
penjualan turun, bagian penjualan menyalahkan bagian produksi. Lalu
bagian produksi menyalahkan bagian business development. Kemudian bagian
busdev menyalahkan bagian marketing, begitu seterusnya. Fakta seperti
ini mungkin sering sekali kita jumpai di kantor. Tindakan saling
menyalahkan tidak akan memecahkan masalah dan hanya akan merusak
kekompakan tim.
Sebagai latihan mengubah “mindset kambing hitam”, kita bisa memulai
dengan cara sederhana. Saat evaluasi kerja, kita hindari pertanyaan,
“Siapa yang salah?” Sebagai gantinya, kita bisa bertanya, “Apa yang
dapat saya (kita) lakukan untuk meperbaiki keadaan?”
SPEAK WITH DATA
Prinsip kedua, speak with data. Bicaralah dengan
data, bukan hanya kira-kira. Berapa rupiah, berapa unit, berapa bulan,
dsb. Semua harus tepat. Data yang benar ini akan sangat berguna agar
kita bisa merancang program yang efektif. Harus kita akui, kebanyakan
orang Indonesia lemah dalam urusan ini. Kita cenderung tidak akurat
dalam urusan data dan biasa bicara dengan kira-kira. Kita belum punya
kebiasaan mencatat. Tradisi kita baru mengingat—dengan daya ingat yang
cupet.
Prinsip ketiga, the next processor is our customer.
Semua orang yang kita layani adalah customer. Jadi, pelanggan bukan
hanya pembeli produk akhir, tapi semua orang yang terlibat dalam proses
berikutnya dari kerja kita. Karena itu, atasan, bawahan, dan rekan kerja
adalah pelanggan yang harus kita layani sebaik-baiknya.
Dengan prinsip ini, orang bagian produksi akan berusaha memudahkan
kerja bagian penjualan. Orang bagian penjualan akan bekerja sambil
memikirkan rekan di bagian keuangan. Begitu seterusnya. Orang yang
bekerja hari ini akan memikirkan kemudahakan kerja penerusnya esok hari.
Prinsip lainnya, fokus ke factor Pareto. Prinsip Pareto mengajarkan
bahwa 20% pekerjaan bisa menghasilkan 80% pendapatan. Agar berhasil,
sebuah organisasi (maupun individu) harus berfokus kepada 20% factor
yang paling menentukan itu. Dalam setiap profesi dan bidang bisnis,
factor Pareto bisa berbeda-beda. Untuk mengetahuinya secara pasti, kita
bisa menggunakan prinsip “speak with data”. Bukan sekadar kira-kira.
KEPINTARAN BUKAN YANG UTAMA
Pemilihan strategi Manajemen saja tidak cukup. Harus dibarengi juga
dengan pemilihan orang-orang yang tepat. Teddy Rachmat, salah satu
perintis dan Presdir Astra paling lama, menuturkan, Astra memiliki
strategi yang khas dalam memilih orang. Kepintaran bukan criteria utama
yang dicari. Kriteria ini menempati urutan keempat. Teddy sendiri selalu
berusaha memilih orang yang “berkarakter” (dalam arti jujur dan
meritokratis) serta passionate (bekerja sepenuh hati). Kedua kriteria
ini lebih penting daripada kepintaran.
Subagio Wirjoatmodjo punya versi sedikit berbeda. Namun, satu hal
yang tidak berbeda, yaitu bahwa kepintaran bukan syarat utama. Kriteria pertama
menurut Subagio adalah trusted. Makna “trusted” tidak sekadar jujur dan
bisa dipercaya, misalnya tidak menyelewengkan uang yang dipercayakan
kepadanya. Lebih dari itu, trustworthiness berarti sifat seseorang yang
menjamin dia akan melaksanakan apa pun tugas yang diberikan kepadanya
dengan sebaik-baiknya.
Kriteria kedua, punya willingness to do more. Di
masa awal berdiri, Astra tidak menggunakan panduan job description
seperti yang lazim diterapkan di berbagai perusahaan. Sebagai gantinya
Astra menggunakan pedoman job responsibility. Kenapa begitu?
Job description cenderung membuat karyawan bekerja dalam standar
rata-rata. Padahal di masa itu, Astra membutuhkan orang-orang progresif
yang sanggup bekerja ekstra. Seseorang yang punya kemauan bekerja ekstra
akan bersedia menerima tanggung jawab lebih tinggi di atas rata-rata.
Sementara orang yang bekerja hanya berdasarkan job description cenderung
membatasi diri dan tidak bersedia menerima tantangan lebih tinggi.
Kriteria ketiga, bisa bekerja dalam tim. Kenapa
kriteria ini penting? Di perusahaan apa pun, semua keberhasilan adalah
keberhasilan tim. Tidak ada superman, yang ada superteam. Di perusahaan
apa pun, tidak ada orang yang berhasil karena dirinya sendiri.
Kriteria keempat, pintar. Kalau sebuah perusahaan
sudah memiliki system yang andal, criteria pintar bukan lagi factor
utama. Yang dibutuhkan adalah orang yang bersedia menjalankan system.
Faktor-faktor lain seperti latar belakang pendidikan bukanlah
pertimbangan utama. Yang utama dari pendidikan formal bukanlah materi
kuliah yang diajarkan, melainkan pembentukan mental seperti disiplin
dan pola piker logis-sistematis. Insinyur teknik bisa saja menjadi
direktur keuangan, sarjana bahasa bisa menjadi presdir.
Pada dasarnya semua orang, apalagi sarjana, punya modal dasar cara
berpikir logis untuk mempelajari hal-hal baru, sekalipun itu tidak
sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Kompetensi kerja bisa
dilatih. Seseorang yang awalnya mungkin kelihatan tidak pandai
berkomunikasi bisa saja menjadi manajer marketing yang andal asal diberi
kesempatan belajar.
Strategi pemilihan 3P (yaitu produk, proses, dan personel) yang tepat
inilah yang menjadi cetak biru Astra sehingga bisa terus menjadi salah
satu perusahaan terbaik di Indonesia sekalipun sudah berkali-kali
berganti kepemilikan. Awalnya Astra didirikan dan dikelola oleh keluarga
William Soerjadjaja. Tahun 1990, Astra menjadi perusahaan terbuka.
Selepas tahun 1992, saham keluarga William dijual dan berpindah tangan
ke beberapa pengusaha nasional.
Pada masa krisis 1998, saham para pengusaha ini digadaikan ke
Pemerintah. Kemudian tahun 2000 saham ini dijual ke Pemerintah kepada
konsorsium asing. Sekalipun sudah berganti-ganti pemiliki, Astra tetap
bisa mempertahankan berbagai prestasi karena memang “DNA” (cetak biru
perusahaan) sudah terbentuk dengan baik.
sigap.com
M. Sholekhudin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar