Mengapa yang Hebat Bisa Jatuh?

Suatu ketika Jim Collins, penulis buku terkenal The Mighty Fall, diundang ke West Point untuk memimpin diskusi yang diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa hebat. Siapa mereka? Duabelas orang jenderal Angkatan  Bersenjata AS, 12 orang Chief Executive Officer (CEO), dan 12 orang pemimpin sektor sosial. Tatkala diminta untuk memimpin diskusi dengan topik tentang Amerika, Jim bingung: mengerti apa saya?

Tapi ia kemudian menemukan satu isu menarik untuk diangkat, yakni sanggupkah Amerika menegakkan kembali kebesarannya, ataukah Amerika tengah menuju titik bawah dari negara hebat menjadi negara biasa? Sejarah menunjukkan, kata Jim, bahwa yang hebat bisa jatuh. Dan itu berulang kali terjadi seperti ditunjukkan oleh Kerajaan Mesir kuno, Dinasti Chou, Athena, Roma. Bahkan Inggris yang selama satu abad pernah menjadi kekuatan adidaya global pun berkurang pengaruhnya. Bisakah AS bertahan?


Di saat istirahat, Jim didekati oleh salah seorang CEO peserta diskusi. “Sepanjang pagi ini saya memikirkan terus pertanyaan Anda dalam konteks perusahaan saya,” ujar CEO tersebut. “Kami menikmati keberhasilan yang luar biasa dalam tahun-tahun terakhir, tapi saya khawatir. Yang saya ingin tahu: Bagaimana Anda mengetahui situasinya bakal berubah jadi buruk? Bukankah ketika Anda berada di puncak dunia, menjadi bangsa paling kuat di Bumi, perusahaan paling sukses di industri Anda, pemain terbaik dalam pertandingan Anda, kekuatan dan keberhasilan Anda mungkin menutupi fakta bahwa Anda tengah berada di jalan menuju kemerosotan?”

Pertanyaan “bagaimana Anda mengetahui” yang diajukan CEO tersebut giliran mengusik pikiran Jim. Seandainya tahu, mungkinkah kecenderungan untuk merosot dapat dihindari? Sepulang dari West Point, Jim terinspirasi untuk menulis buku mengenai apa yang bisa dipelajari dari kemunduran perusahaan hebat dan apa yang bisa dilakukan untuk menghindari takdir serupa? Maka, lahirlah How the Mighty Fall. Ia sampai pada penglihatan bahwa seperti halnya penyakit, kemorosotan itu sukar dideteksi di tahap awal, tapi mudah diobati; lebih mudah dideteksi di tahap akhir, tapi sudah sukar diobati.

Pertanyaan yang diajukan kepada Jim itu mirip dengan pertanyaan yang pernah diterima oleh Jagdish N. Sheth, seorang guru besar pemasaran. Adalah Duanne Ackerman, Chairman Emeritus BellSouth Corporation, yang mengajukan pertanyaan paling berwawasan dalam pandangan Jag, yakni “Mengapa perusahaan bagus bisa gagal?” (Dalam konteks Piala Dunia 2014 sekarang, pertanyaannya: mengapa Juara Dunia 2010 Spanyol tersingkir di babak awal?) Mengapa ikon-ikon bisnis AS, seperti Sears, Dana Corporation, AT&T, Xerox, IBM, dan Kodak sempat terpuruk?

Setidaknya terdapat tiga teori mengenai sebab kematian perusahaan. Pertama, teori populasi atau, meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Charles Darwin, survival of the fittest (yang mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, itulah yang mampu bertahan hidup). Seleksi alamlah yang memilih mana perusahaan yang bisa bertahan hidup dan mana yang terpaksa harus menutup kantornya. Saat ini kita jarang sekali orang menyebut Lycos dan Altavista, karena orang lebih mengenal Yahoo! dan Google.

Teori kedua menyebutkan bahwa perusahaan mengikuti siklus hidup berupa kelahiran, tumbuh, berkembang, matang, dan kemudian mati. Siklus ini tak bisa dihindari. Pendeknya, tidak ada yang dapat kita lakukan untuk menghindari kematian perusahaan. Ajal itu pasti tiba. Sebagian kematian disebabkan oleh sebab-sebab alamiah, seperti salah urus, tak mampu mengikuti perubahan lingkungan, tapi sebagian lainnya mati lebih dini. Napster adalah contohnya. Perusahaan ini “dibunuh” oleh kekuatan-kekuatan dari luar.

Beberapa tahun lalu, perusahaan yang didirikan oleh Shawn Fenn ini mengembangkan peranti lunak file sharing untuk musik. Pengguna internet yang memiliki file musik di komputer mereka dapat saling bertukar file dengan pengguna di tempat lain. Industri musik, produser, dan sebagian besar seniman musik meradang dan menuntut Napster. Setelah lama berjuang, Fenn tidak sanggup lagi mempertahankan hidup Napster.

Teori ketiga berpendapat bahwa sebagian besar perusahaan bisa hidup selamanya, tulis Jag dalam The Self-Destructive Habits of Good Companies, asalkan orang-orangnya menyadari, mengoreksi, bahkan mencegah timbulnya kebiasaan merusak diri. Jag meyakini bahwa kebiasaan adalah sesuatu yang dapat dipelajari, bukan suratan takdir. Jag menunjukkan sejumlah kebiasaan yang bisa membuat perusahaan sukses menjadi terpuruk, sedangkan Jim memperlihatkan tahapan-tahapan perusahaan menuju kehancuran.

Dalam How the Mighty Fall, Jim menyebutkan bahwa pada tahap pertama, perusahaan terbuai oleh keberhasilannya. Momentum yang terakumulasi mampu membawa perusahaan bergerak maju lagi, sekalipun bila pemimpinnya membuat keputusan yang buruk atau disiplin organisasi mulai longgar. Situasinya akan bertambah buruk jika orang-orang menjadi arogan karena keberhasilan. Mereka kehilangan wawasan mengenai faktor-faktor yang benar-benar melandasi  keberhasilan. Ketika retorika sukses (“Kita sukses karena kita melakukan hal-hal yang spesifik”) menggantikan pemahaman dan wawasan (“kita sukses sebab kita memahami mengapa kita melakukan hal-hal spesifik dan dalam kondisi seperti apa hal-hal itu tidak lagi berhasil”), kemerosotan akan mengikuti. Arogansi ini disebut oleh Jag sebagai kebiasaan buruk yang mengawali kejatuhan.

Arogansi dalam Tahap 1 (“Kita begitu hebat, kita bisa melakukan apa saja!”), menurut Jim, membawa kepada Tahap 2, the Undisciplined Pursuit of More—memburu tingkat pertumbuhan yang lebih, memburu apa saja  yang dilihat sebagai “keberhasilan” oleh mereka yang tengah berkuasa.
Perusahaan-perusahaan di Tahap 2 lalu membuat lompatan indisipliner ke wilayah di mana mereka tidak bisa menjadi pemain yang hebat. Memasuki bisnis di mana Anda tidak memiliki passion yang menyala adalah tindakan yang tidak disiplin. Mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan nilai-nilai inti perusahaan adalah tindakan yang tidak disiplin. Berinvestasi besar-besaran dalam arena baru yang Anda tidak memiliki kapabilitas menonjol adalah langkah yang tidak disiplin.

Menurut Jag, sikap arogan dan berpuas diri juga bisa menjadi batu sandungan. Ia memberi contoh bagaimana sikap ini sempat menghinggapi Andy Grove, pendiri Intel. Ketika ia menjabat CEO produsen microchips itu, Grove serta sebagian jajarannya, sempat meremehkan chips buatan Advanced Micro Devices (AMD), yang waktu itu masih perusahaan kecil dibandingkan dengan Intel. Namun, tatkala hanya dalam waktu satu tahun IBM, Sun Microsystem, dan Hewlett-Packard  sudah menjadi pelanggan AMD, Intel terpaksa harus mengejar ketertinggalannya.

IBM juga pernah mengingkari kenyataan bahwa industri komputer tengah berubah. Karena itu, IBM tetap berkutat memproduksi mainframedan terlambat berubah. Para eksekutif IBM waktu itu tidak mempercayai adanya realitas baru berupa kehadiran personal computer (PC).

Di sisi lain, banyak perusahaan yang hanya mengamati pesaing di sekitarnya dan jarang melihat jauh ke depan. Mereka kurang menyadari kehadiran penantang potensial yang ancamannya belum tertangkap oleh radar mereka. Pengalaman industri otomotif Amerika memberikan pelajaran penting. Saat itu, General Motors, Ford, dan Chrysler bersaing ketat satu sama lain tanpa menaruh perhatian serius terhadap masuknya produsen Jepang yang kemudian menguasai pasar otomotif negeri itu.
Di tahap 3, menurut teori Jim, tanda-tanda peringatan internal mulai berdenyut. Namun, karena eksekutif perusahaan melihat gangguan itu bersifat temporal dan tidak ada yang salah secara fundamental, alarm peringatan itu kurang diperhatikan. Ketika tanda peringatan berdenyut semakin keras, barulah pemimpin perusahaan mulai menyalahkan faktor eksternal.

Sikap puas diri, menurut Jag, menyebabkan Anda mengabaikan realitas dan enggan bertindak. Sikap puas diri berkembang dari ilusi tentang “gen unggul”, yakni anggapan bahwa “hal buruk tidak mungkin terjadi di perusahaan ini”. Mereka baru terkejut setelah alarm peringatan berbunyi semakin keras.

Dalam kacamata Jag, kebiasaan buruk seperti fanatisme wilayah juga bisa menjadi ancaman serius. Seiring pertumbuhan dan kesuksesan, perusahaan cenderung mengorganisasi diri berdasarkan “kubu-kubu fungsional” maupun “kubu-kubu geografis”, misalnya kantor pusat dan kantor regional, induk perusahaan dan anak perusahaan. Proses ini wajar dan rasional, tapi menurut Jag, memiliki konsekuensi negatif karena menimbulkan kebiasaan yang merusak sebagai akibat menguatnya semangat kewilayahan.

Bagaimana para pemimpin merespons kondisi yang semakin buruk? Akankah ia kembali kepada disiplin-disiplin yang mendatangkan kebesaran di masa lalu atau memilih cara penyelamatan yang cepat? Bila langkah kedua ini yang diambil, menurut Jim, perusahaan akan jatuh ke Tahap 4. Strategi hebat kerap dianggap bisa jadi penyelamat, padahal belum teruji. Hasil awal dari tindakan dramatis ini memang terlihat positif, tapi menurut Jim, hal itu tidak akan bertahan lama.

Semakin lama perusahaan berada di Tahap 4, dengan berulang kali menjalankan solusi-solusi instan, semakin mungkin perusahaan kian merosot. Di Tahap 5, menurut Jim, kemunduran yang menumpuk dan kesalahan yang mahal mulai menggerogoti kekuatan finansial dan spirit individual, sehingga para pemimpin kehilangan seluruh harapan untuk membangun kembali masa depan yang hebat.
Inti perjuangannya bukanlah hanya sekedar selamat, tetapi bagaimana membangun kembali perusahaan. Untuk menyelesaikan tugas ini dibutuhkan pemimpin yang memahami prinsip itu. Salah satunya, dengan kembali kepada nilai-nilai inti perusahaan.

TEMPO.CO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar