Jelas
bahwa nilai-nilai mempunyai peran penting di dalam mengungkap diri ideal.
Karena di sepanjang hidup nilai-nilai akan berubah, berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa seperti pernikahan, kelahiran anak atau dipecar, maka
falsafah hidup yang ada latar belakanglah yang lebih bertahan. Falsafah
seseorang adalah cara ia menentukan nilai-nilainya dan kecenderungan gaya
kepemimpinannya. Pemimpin yang menganggap pencapaian tujuan lebih dari hal
apapun, jelas akan menjadi penentu kecepatan, dan melihat gaya demokratik
sebagai tindakan membuang-buang waktu. Pemahaman tentang falsafah yang kita
jalani akan membantu kita melihat bagaimana diri ideal kita mencerminkan
nilai-nilai kita.
Misalnya,
seorang konsultan menulis “keluarga” sebagai sebuah nilai yang dominan, tetapi
masih menghabiskan lima hari dalam seminggu jauh dari istri dan kedua anaknya
karena harus mengadakan perjalanan untuk pekerjaannya. Ia berkata bahwa ia
menjalankan nilainya ini dengan menyediakan cukup uang untuk kebutuhan keluarganya.
Berlawanan dengan dirinya, seorang manajer pabrik yang juga menulis “keluarga”
sebagai nilai dominannya, telah menolak kenaikan jabatan agar setiap malam ia
bisa makan malam bersama istri dan ank-anaknya.
Perbedaan
di antara kedua pria ini mungkin terletak pada seberapa sadarnya mereka
terhadap nilai-nilai sejati yang dianutnya, bagaimana mereka menginterprestasikan
nilai-nilainnya. Sejalan dengan itu, mereka juga menunjukkan perbedaan besar
pada cara mereka menilai orang, organisasi, dan kegiatan. Perbedaan-perbedaan
ini bisa mencerminkan perbedaam falsafah yang dijalankan yang paling umum
adalah falsafah pragmatis, intelektual, dan humanistik. Dan meskipun tidak ada
falsafah yang “lebih baik” daripada falsafah lainnya, tetapi setiap falsafah akan
mendorong tindakan, pikiran, dan perasaan dengan cara yang berbeda.
Tema
sentral falsafah pragmatik adalah keyakinan bahwa manfaatlah yang menentukan
kelayak sebuah ide, usaha, orang, atau organisasi. Orang-orang yang memiliki
falsafah seperti ini percaya bahwa mereka bertanggung jawab untuk
peristiwa-peristiwa di dalam hidup, dan seringkali mengukur segala sesuatu
untuk menilai nilai-nilai mereka. Karenanya tidaklah mengherankan bahwa di
antara kompetensi kecerdasan emosi, pragmatik menempati urutan tinggi di dalam
pengelolaan diri. Sayangnya, orientasinya yang individualistik sering meski
tidak selalu menarik mereka untuk menggunakan gaya penentu kecepatan, lebih
daripada gaya demokratik, pembimbing, atau afiliatif.
Misalnya
Larry Ellison, seorang CEO dengan gaya penentu kecepatan pada Oracle
Corporation. Di dalam usahanya yang tidak mengenal lelah untuk memperbesar
pangsa pasar, ia selalu menantang pegawainya untuk “menghancurkan” dan
“menyingkirkan” pesaing dari dunia pasar. Ia juga selalu membandingkan
kemanjuan perusahaan dengan pesaingnya, menunjukkan falsafah pragmatisnya di
dalam perbandingan-perbandingan seperti itu, yang diucapkannya di dalam
pidato-pidato dan wawancaranya.
Tema
sentral falsafah imtelektual adalah hasrat untuk mengerti orang-orang, hal-hal,
dan dunia dengan membangun gambaran tentang cara kerja mereka, dan dengan
demikian menyediakan rasa aman emosional di dalam meramalkan masa depan.
Orang-orang dengan falsafah ini mengandalkan logika ketika membuat keputusan,
dan menilai kelayakan sesuatu dari apa yang melatarbelakanginya atau alasannya.
Orang-orang dengan pandangan seperti ini banyak mengandalkan kompetensi
kognitif, kadang-kadang sampai tidak mempedulikan kompetensi sosial.
Mungkin
Anda pernah mendengar seseorang yang memiliki falsafah intelektual berkata,
misalnya, “Jika Anda mempunyai jalan keluar yang bagus, orang-orang akan
mempercayainya. Anda tidak perlu meyakinkan orang-orang tentang manfaatnya.
“Mereka bisa menggunakan gaya kepemimpinan visioner, jika visinya menjelaskan
masa depan yang sudah diperhitungkan dengan baik.
John
Chamber, CEO Cisco System, mencerminkan suatu pandangan intelektual ketika ia
menjelaskan masa depan yang lebih baik melalu teknologi. Misalnya, ia berbicara
tentang bagaimana sistem elektronik yang terpadu akan bisa menyesuaikan suhu
pakaian ketika orang berjalan dari rumah yang menggunakan pemanas ke mobil di
musim dingin. Dengan cara yang berapi-api, ia berbicara secara terbuka tentang
keyakinannya bahwa perusahaannya dapat menciptakan model masa depan seperti
ini, dengan demikian memungkinkan setiap orang ikut menyumbang demi terwujudnya
kehidupan yang lebih baik.
Tema
sentral falsafah humanistik adalah bahwa relasi yang akrab dan personal memberi
makna pada hidup. Orang-orang dengan falsafah ini berkomitmen pada nilai-nilai
manusiawi; keluarga dan teman dekat dilihat sebagai relasi yang lebih penting
daripada relasi lainnya. Mereka menilai kelayakan sebuah kegiatan dari
bagaimana kegiatan itu mempengaruhi orang-orang terdekatnya. Begitu pula kesetiaan
dihargai lebih besar daripada pekerjaan atau keterampilan.
Jika falsafah
pragmatis bisa menjuruskan orang untuk “mengorbankan yang sedikit demi yang
banyak”, seorang pemimpin humanistik akan memandang penting hidup setiap orang,
secara alami ia akan memandang penting hidup setiap orang, secara alami ia akan
menumbuhkan kompetensi kesadaran sosial dan pengelolaan relasi. Dengan begitu,
pemimpin yang humanistik lebih cenderung pada gaya yang menekankan interaksi
dengan orang lain, seperti gaya demokratik, afiliatif, atau penimbing.
Misalnya,
Narayan Murthy adalah seorang CEO hebat yang juga pendiri Ingosys Technologies
Limited, yang berkantor pusat di Bangalore, India. Sebagian dari visinya adalah
melibatkan orang secara penuh dengan pekerjaannya, dengan menggunakan gaya
demokratik. Hasilnya, ia menjadikan Infosys sebagai salah satu perusahaan
dibidang pengembangan dan pemeliharaan perangkat lunak yang paling diinginkan
sebagai orang yang “berotak kapitalis tetapi berhati sosialis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar