Turnaround didefinisikan sebagai pembalikan arah perusahaan dari penurunan kinerja (Schendel, Patton dan Riggs dalam Bruton et al (2003). Menurut Supardi dan Mastuti
(2003), turnaround diambil ketika
manajemen mengalami kegagalan dalam membesarkan perusahaan sehingga prospek perusahaan menjadi tidak jelas dan
mengalami krisis berkepanjangan, sehingga pemilik dan manajemen
berusaha keras memutar arah organisasi.
Turnaround
yang sukses adalah sebuah proses
yang kompleks meliputi kombinasi dari faktor lingkungan, sumber daya internal, strategi perusahaan yang relevan pada berbagai
tahap penurunan kinerja, yang menghasilkan peningkatan kinerja keuangan /recovery (Arogyaswamy,
1995 dalam Francis dan
Desai, 2005). Recovery dari financial
distress didefinisikan sebagai
cash flow yang lebih besar
daripada hutang jangka pendek. Beberapa peneliti meyakini bahwa financial distress dapat
diatasi ketika dilakukan tindakan yang cepat dalam perubahan
manajemen dan pengaturan perusahaan mengenai strategi organisasi dan struktur perusahaan (Jensen 1989,
Wisk 1990, Ofek 1993 dalam
Bergstrom, Sundgren 2002). Pada tahap
awal ketika terjadi hambatan cashflow, harus segera dilakukan tindakan melalui efisiensi.
Manajemen harus memutuskan cara untuk
melaksanakan proses turnaround.
Menurut
Davis dan Hofer (dalam Bruton et al, 2003) terdapat 2 macam strategi turnaround yang
pernah dilakukan di negara-negara barat yaitu strategi
operasi dan strategik. Turnaround yang bersifat strategik difokuskan pada perubahan arah strategi perusahaan, positioning,
aliansi, dan jenis produk, sedangkan
turnaround yang bersifat operasional
antara lain pengurangan karyawan dan retrenchment.
Penyebab financial
distress juga mempengaruhi
keefektifan upaya turnaround
yang dilakukan, misalnya
pada hasil penelitian Whitaker (1999), upaya
perbaikan manajemen berpengaruh signifikan terhadap kesuksesan turnaround
pada perusahaan yang mengalami financial distress akibat
kelemahan manajemen tetapi tidak signifikan
pada perusahaan yang mengalami financial distress akibat
kelesuan aktifitas industri.
Demikian juga peningkatan
kondisi ekonomi adalah determinan yang berpengaruh signifikan terhadap recovery kinerja keuangan perusahaan yang mengalami financial distress akibat
economic distress bukan perusahaan
yang mengalami financial distress akibat kegagalan manajemen. Peneliti lain yaitu Jensen (1989)
(dalam Whitaker, 1999) juga
berpendapat bahwa aksi manajemen dengan melakukan efisiensi akan
meningkatkan kinerja perusahaan pada perusahaan yang mengalami financial
distress akibat kelemahan
manajemen.
Proses Turnaround
Schedel et.al. (1976) dalam Smith & Graves (2005) menyatakan
bahwa strategi recovery dapat diklasifikasikan menjadi 2:
1. Orientasi
efisiensi (Efficiency oriented)
2. Orientasi
usaha (Entrepreneurial oriented)
Jika penurunan kinerja perusahaan berasal dari operasi
yang tidak efisien maka perusahaan harus mengadopsi strategi recovery yang berorientasi
pada efisiensi (efficiency
oriented strategy) seperti pemotongan
biaya dan pengurangan asset. Jika strategi perusahaan tidak relevan lagi
maka perusahaan harus membuat perubahan
yang cocok dengan pasar yang dihadapi dengan mengadopsi strategi yang berorientasi pada usaha (entrepreneurial
oriented strategies) Bibeault (1982).
Pearce dan Robbins (1993), Arogyaswamy
et.all (1995) dalam Smith
& Graves (2005), mengamati bahwa
proses turnaround terdiri
dari 2 bagian:
1. Menahan
penurunan (decline stemming strategy)
2. Strategi
pemulihan (recovery strategy)
Decline stemming strategy bertujuan untuk menstabilisasi kondisi keuangan perusahaan dengan pengumpulan dukungan pemegang saham, menghilangkan ketidakefisienan (efficiency
oriented strategy) dan menstabilkan
suasana internal perusahaan. Ketika kondisi
keuangan perusahaan stabil, maka harus
diputuskan strategi perbaikan/recovery yang akan diikuti membaiknya profitabilitas atau mengusahakan pertumbuhan (entrepreneurial oriented).
Dalam Smith
& Graves (2005), tingkat kesuksesan
pengaplikasian strategi menahan penurunan (decline
stemming strategy) dipengaruhi beberapa faktor, antara lain tingkat ketahanan perusahaan terhadap distress (Pearce & Robbins, 1993; Arogyawamy et.al., 1995), ukuran perusahaan dan sumber-sumber bebas yang tersedia (White, 1989, Arogyawamy
et.al, 1995).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar