“Pusing kepala saya melihat cost yang naik terus tiap tahun. Apalagi
BBM barusan naik, Cost of Production kami juga pasti naik, padahal daya
beli masyarakat lagi turun. Bisa-bisa target profit tahun ini tak
tercapai..”, demikian curhat para pelaku usaha.
Ya, miris juga melihat kondisi terkini. Belum selesai berjibaku
mengurus kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2013, yang
naik tajam dari Rp 1,529 juta ke Rp 2,2 juta (naik 44 persen), dunia
usaha sudah dihantam lagi dengan kenaikan BBM. padahal kenaikan UMP
diperkirakan berkontribusi 20 % terhadap kenaikan biaya produksi.
Sayangnya kenaikan UMP tersebut tidak berkorelasi terhadap
produktifitas kerja. Walau UMP naik, produktifitas kerja ya “sami
mawon”. Produktivitas tenaga kerja kita hanya separuh dari Thailand dan
seperlima Malaysia. Miris hati saat menengok survey dari World
Competitiveness Book (2007), peringkat produktivitas kerja Indonesia
ternyata nongkrong di posisi 59 dari 60 negara yang disurvei (makin
turun dibanding 2001 yang urutan 46). Kalah jauh dari tetangga Asia
lainnya, seperti Singapura (1), Thailand (27), Malaysia (28), Korea
(29), Cina (31), India (39), dan Filipina (49).
Padahal , selain UMP, para pelaku usaha juga terbebankan gaji ke-13
(diluar negeri tidak ada lho). Belum lagi ada tambahan uang makan, uang
transportasi, uang pensiun, dan lain-lain.
Bukan hanya itu, pelaku usaha juga dihadang tarif dasar listrik (TDL)
2013, yang dinaikkan secara bertahap sebesar 4,3% (dilakukan pada
Januari dan April 2013). Padahal TDL menjadi salah satu komponen
penting dalam biaya produksi sebuah industri (porsi 15 – 20 persen).
Khususnya industri tekstil, TDL memiliki kontribusi yang sangat besar
dalam struktur biaya produksi. Pada pabrik pembuatan serat, listrik
memberikan kontribusi 25 persen dari keseluruhan biaya produksi. Pada
industri pertenunan, listrik mempunyai peranan sebesar 14,4 persen.
Hanya industri garmen yang persentase listriknya kecil, yakni sekitar
1,3 persen.
Walau belum merata, di beberapa daerah tarif PDAM juga mulai bergerak
naik. Di Bandung pada 1 April naik sebesar 60 persen untuk golongan
niaga industri. Di Balikpapan naik hampir 10%. Di Tarakan, kenaikan
berkisar 51,95 persen. Di kabupaten Sampang naik 25 persen. Wah-wah makin berat saja menjalankan bahtera usaha.
Apakah pelaku usaha harus menyerah? Harus “tutup toko” dan mengibarkan bendera putih? Tunggu dulu…
Ini dia jawabannya:
Anything that cannot kill you, will make you stronger…Artinya
jikalau anda belum bangkrut, masalah ini seharusnya menjadi peluang
untuk beroperasi lebih efisien dan efektif. Memang disinilah letak
keindahan berusaha, yakni harus selalu kreatif dan mencari solusi yang
inovatif.
Untuk perusahan berorientasi profit, tujuan utama adalah memperoleh
laba optimal. Ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama adalah dengan
memperbesar pendapatan. Namun dalam kondisi persaingan yang makin ketat,
tidak mudah memperbesar pendapatan melalui kenaikan harga jual dan
volume. Kedua adalah dengan mengendalikan biaya produksi secara efisien
dan memaksimalkan asset perusahaan (termasuk manusianya). Cara kedua ini
lebih cepat dampaknya karena ditentukan oleh pihak internal perusahaan.
Bagaimana caranya untuk mengurangi costs secara strategis ?
Langkah pertama, petakan Source of Costs dari organisasi anda. Gunakan saja Business Model Canvas.
Sumber biaya biasanya datang dari 3 titik yakni : Key Activities, Key
Resources dan Channel. Namun tidak tertutup kemungkinan datang dari
biaya memelihara Key Partners dan biaya memelihara customers di Customer
Relationship.
Contohnya, banyak organisasi menggangap Customer is King. Konsep ini seharusnya diubah menjadi : Only Profitable Customer is King. Karenanya perlu dibedah : mana konsumen yang profitable , mana yang dikasih hati malah minta jantung (sumber cost).
Selain itu pada Key Activities juga dapat dilakukan beberapa inovasi.
Di beberapa perusahaan, biaya produksi ditekan dengan menerapkan business process
yang efisien (Air Asia). Perhatikan pembersihan toilet dilakukan oleh
awak kabin saat berada di udara (30 menit sebelum mendarat). Cara ini
terbukti mampu menghemat biaya parkir pesawat di landasan. Selain itu
penumpang dipersilahkan naik ke pesawat, bersamaan dengan pengisian
bahan bakar dan pemuatan koper ke bagasi (menghemat waktu parkir yang
mahal).
Langkah kedua, bedah struktur biaya anda. Total biaya merupakan
penjumlahan dari biaya produksi , ditambah biaya penjualan serta biaya
lainya. Umumnya pada industri manufaktur, biaya produksi mencakup 70 %
dari total biaya, terdiri dari biaya tenaga kerja (35%) , biaya bahan
mentah (14 % ), serta biaya overhead-riset-lainnya (21%).
Sisanya (30%) mencakup biaya penjualan, dimana diperkirakan porsinya
adalah: biaya pegawai (12%), promosi (6%), pajak (6%) dan biaya modal
(6%). Nah bagian mana yang ingin anda perbaiki efisiensinya? Jikalau
anda bergerak di manufacturing, maka defect dan waste menjadi musuh
terbesar anda. Jikalau bergerak di industri jasa, maka biaya promosi
dapat ditekan dengan menggunakan media sosial.
Langkah ketiga. Maksimalkan utilisasi asset, termasuk produktifitas
SDM. Faktur manusia dapat berkontribusi 47% terhadap total biaya.
Karenanya beri tantangan agar 1 pegawai mampu mengerjakan 3 tugas
sekaligus. Lalu beri mereka tools (training) agar mampu mengerjakan
tugas dengan baik.
Training juga jangan asal-asalan, seharusnya training yang baik
adalah training dengan outcome level 3 atau level 4 Kirkpatrick (yang
ada Pre dan Pro Asesment). Juga maksimalkan utilisasi
mesin-kendaraan-gedung, jangan dibiarkan tak terpakai dengan maksimal.
Pertanyaan penutup: sudahkan organisasi anda sadar perlunya Cost
Reduction Program? Jawabannya akan menentukan apakah target profit
tahun ini tercapai atau gagal total.
Daniel Saputro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar