Tanda Kebesaran Jiwa

Memaafkan, Tanda Kebesaran Jiwa | SESAWI.NETKATA maaf menjadi beken akhir-akhir ini. Bukan karena kata ini merupakan kasanah baru dalam dunia bahasa atau digunakan oleh seorang tokoh tertentu seperti Tukul yang kerap mengucapkan idiom terkenalnya ‘kembali ke laptop’ melainkan karena minggu-minggu ini suasana Idul Fitri masih kita rasakan.

Kembali ke fitrahnya, kepada kesempurnaan mensyaratkan adanya rekonsiliasi antara diri sendiri dengan sesama manusia. Tentu saja rekonsiliasi ini seharusnya disadari juga berlaku pada hubungan kita dengan makhluk lain dan lingkungan sekitar kita, dengan dunia ini.
Tak ada artinya bila rekonsiliasi hanya terjadi pada satu sisi kehidupan kita, sementara ketidakharmonisan terbesar yakni hubungan dengan alam yang makin panas ini tidak dikembalikan ke dalam posisi normal.

Marah itu kelemahan
Saat kita menjadi korban, kerapkali kita keliru menganggap kemarahan sebagai kekuatan. Padahal salah paham ini meningkatkan siklus kekerasan. Korban kejahatan berbalik menjadi pelaku kejahatan itu sendiri. Tak jarang ketika perlakuan sopir angkot yang tidak menyenangkan itu kubalas dengan perlakuan yang sama seperti misalnya aku berhenti lama menghadang kendaraan mereka, pada saat itulah aku justru berbalik menjadi jahat.


Kemarahan, tampaknya merupakan wajah lain dari ketakutan. Ketakutan bahwa aku direndahkan. Ketakutan bahwa orang lain bisa berkuasa atas diriku. Padahal justru ketika kemarahan itu muncul, derajat rendah sebagai manusia itu makin jadi nyata.

Karena itu, memaafkan meski pada awalnya agak sulit, sebenarnya adalah jalan menuju ketentraman batin. Para suci sendiri pernah berkata,”Berilah maaf tujuh puluh kali tujuh kali” yang artinya ‘maafkanlah siapa pun juga sebanyak mungkin’. Kebencian dan prasangka sebaliknya menimbulkan kekerasan dan rasa sakit, tak hanya secara fisik tapi juga secara batin. Dan hanya cintalah yang dapat menyembuhkannya.

Memaafkan, bukan berarti melupakan. Memaafkan berarti mengerti. Kita tak dapat membuka hari kita kepada orang lain kecuali hati kita terbuka terhadap diri kita sendiri.
Peribahasa dalam A Course in miracle mengungkap dengan jelas bahwa “tanah yang paling suci adalah tanah di mana kebencian lama telah menjadi kasih sayang sekarang.”

Jiwa besar
Banyak orang juga mengakui, memberi maaf apalagi meminta maaf bukan perkara mudah. Memberi dan meminta maaf butuh jiwa besar. Dengan begini kita seolah diminta untuk melepaskan keegoan kita bahkan menurunkan derajat kita.

Tapi benarkah dengan memberi maaf dan meminta maaf kita menurunkan derajat sebagai manusia? Justru sebaliknya. Sikap memaafkan dan meminta maaf justru meninggikan harkat kita sebagai manusia. Kita mungkin perlu merendahkan hati kita, tapi tidak merendahkan diri.
Ketika permintaan dan pemberian itu muncul, keagungan kita sebagai manusia menjadi tampak dan bercahaya.

Dan tentu saja dengan maaf, sakit hati itu hilang. Beban di dada lenyap. Maaf menyembuhkan luka batin yang selama ini menggumpal dan meracuni hati.

Padahal justru ketika kemarahan itu muncul, derajat rendah sebagai manusia itu makin jadi nyata.”

Saya sadar kenapa saya mesti menghadapi orang-orang yang sulit diatur seperti para sopir angkot, metromini, dan mereka yang tidak aturan di jalan. Saya juga mulai sadar kenapa saya harus berhadapan dengan teman-teman yang tidak tahu malu bahwa dirinya melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan semua pihak saat yang lain bekerja dia sendiri tidak. Saya sekali lagi disadarkan kenapa ada saudara dekat yang menjengkelkan karena memperlakukan istrinya dengan kasar, sulit diberi nasihat dan kerap memfitnah.

Keadaan-keadaan sulit, emosi-emosi negatif ini menjadi bahan baku bagi pertumbuhan jiwaku. Ketika hal-hal tidak mengenakan itu menimpaku, perasaan marah kerapkali menjadi hal biasa.
Tapi aku sadar, kemarahan itu bukannya melepaskan dan membebaskanku, melainkan justru memenjarakanku. Kemarahan bukanlah sebuah pertunjukan kekuatan yang harus dipamerkan. Sikap marah justru menunjukkan disitulah kelemahanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar