"Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah;
Saya akan meneruskan perjuangan…!"
(Jenderal Soedirman)
Saya akan meneruskan perjuangan…!"
(Jenderal Soedirman)
Dalam
memandu beberapa sesi pelatihan akahir-akhir ini, baik topik mengenai
hubungan industrial, kepemimpinan, GCG bahkan workshop teknis seperti
kompensasi, manpower planning dan lainya, selalu terselip pertanyaan,
sulit situasi perusahaan pada umumnya di tenggah marak berbagai aksi
mogok dan tuntutan kenaiakan upah pokok, belum lagi rencana kenaiakan
tarif listrik yang sudah di depan mata serta masih belum optimalnya
infrastruktur.
Saat ini, kita semakin merasakan kehidupan yang
semakin sulit. Gelombang krisis ekonomi global kini telah menghancurkan
sendi-sendi perekonomian negara di dunia secara perlahan.
Industri-industri keuangan dan manufaktur silih berganti bertumbangan,
hingga menyebabkan gelombang PHK tidak terhindarkan. Untuk Indonesia
pada tahun 2012 ini, diprediksi setidaknya akan ada 15.000 tenaga kerja
bakal mengalami nasib mengganggur sementara, karena akan dirumahkan oleh
perusahaan tempat mereka bekerja. Situasi ini, sungguh mengingatkan
"kita" pada situasi yang sulit beberapa tahun lalu. Dalam memori "kita"
masih terekam kuat bagaimana sulitnya, situasi kala era transisi
kemerdekaan 1950-an sampai dengan 1960-an. Krisis ekonomi, kelaparan,
pengangguran menyerang daya tahan bangsa Indonesia waktu itu, tetapi
uniknya, tokoh sebesar Soekarno, sehebat Bung Hatta tetap keluar sebagai
"hero". Ini bermakna, tanpa seni kepemimpinan yang jitu dalam krisis,
maka mustahil "mereka" dipuja, dan menjadi pahlawan bagi "kita" semua.
Menjadi
menarik kita lihat kembali penggalan kalimat yang diutarakan oleh
Jenderal Soedirman ini menyiratkan sebuah "semangat", betapapun dalam
keadaan darurat atau berada dalam badai krisis, seorang pemimpin mesti
selalu memegang komitmen perjuangan dan cita-cita kolektif. Semangat ini
mesti selalu diaktualkan oleh seorang pemimpin masa depan. Hal ini
setidaknya "keniscayaan" dari pertarungan hari ini dan masa depan yang
pasti akan lebih hebat dan dahsyat. Jika, Jenderal Soedirman berjuang
dalam perang pisik, maka "kita" sesungguhnya tengah berada dalam perang
non-pisik, yang membutuhkan energi pikiran, dan kekuatan mentalitas.
Kekuatan ini menjadi penting bagi seorang pemimpin yang memimpin di
tengah amuk krisis global.
Dalam krisis, hal yang penting ada bagi
seorang pemimpin ialah memutuskan dengan benar, dan bertindak secara
benar dan tentunya juga cepat. Ini senada dengan konsep Mahatma Gandhi
"the main purpose of life is to live rightly, think rightly, act
rightly." Ketika konsep "benar" menjiwai seorang pemimpin, maka krisis
baginya bukanlah musuh yang menakutkan, akan tetapi dianggap menjadi
peluang untuk membangkitkan semangat rakyat dan bangsa untuk keluar dari
keterpurukan.
Krisis tidak selamanya berdampak buruk, tetapi
krisis yang tidak dikelola dengan baik justru juga akan berdampak tidak
baik. Memimpin dalam situasi ini butuh keberanian; keberanian untuk
berpikir berbeda, keberanian untuk melakukan improvisasi, hingga krisis
sejatinya menjadi labor eksperimentasi untuk mencapai harapan dan
cita-cita organisasi.
Dalam krisis, berpikir tidak konvensional
juga turut menjadi "seni" dalam memimpin. Sebab dalam situasi darurat,
kerapkali aturan-aturan baku tidak lagi mampu berfungsi dan mengerakkan
tantangan menjadi peluang. Justru itu, memimpin dengan metode
kepemimpinan non-konvesional menjadi penting diterapkan dalam merespon
dan merubah krisis menjadi peluang untuk kebangkitan. Lee Kwan Yew (PM
Singapura) dalam hal ini pernah menyatakan bahwa salah satu resep
kesuksesan Singgapura adalah karena dari 4 Juta penduduknya, ada sekitar
2.000 orang di puncak yang mempunyai ‘proven track record—not just
ability, but in character, determination, comitment’ dan dapat memimpin
untuk memajukan Singgapura.
Bagaimana melihat kualitas
kepemimpinan seorang team leader? Ada banyak cara, salah satunya ialah
dari respons pemimpin terhadap krisis. Dalam situasi kritis, seorang
pemimpin dipaksa oleh keadaan untuk memberikan respons cepat dengan
kualitas yang berbeda dari situasi normal. Mungkin ia memberikan respons
terbaik, tapi bisa pula ia merespons dengan sangat buruk.
Dalam
situasi normal, seorang pemimpin memiliki waktu cukup untuk menganalisis
situasi. Ia dapat leluasa mengerahkan sumberdaya organisasi untuk
mengatasi persoalan-persoalan yang muncul. Mungkin saja, ia mempunyai
waktu 1-2 hari atau malah lebih untuk berpikir sebelum mengambil
keputusan penting. Koordinasi antar anggota tim juga bisa disiapkan
sebelum eksekusi atas keputusan tersebut dilakukan.
Dalam situasi
kritis, jelas semua itu terasa mewah. Pemimpin dituntut bergerak cepat.
Kendati begitu, ia harus mendapatkan momen untuk memperoleh gambaran
mengenai apa yang tengah terjadi. Di saat banyak orang berbicara nyaris
bersama-sama dalam keadaan kalut, pemimpin dapat mengambil inisiatif
untuk meredakan respons yang nervous ini. Dalam situasi kritis, jiwa
kepemimpinannya "hadir" dan kehadirannya dirasakan oleh anggota tim.
Sebagai
pemimpin, ia harus memperlihatkan bahwa ia mampu mengendalikan situasi.
Tatkala tak seorang pun sanggup mengendalikan, pemimpinlah yang harus
melakukannya. Menghadapi bencana, misalnya, ia jelas tidak mampu
mengendalikannya. Yang bisa ia kendalikan ialah respons tim terhadap
bencana itu. Ia mesti memberikan respons cepat, tapi tidak
tergopoh-gopoh, sebab ini justru akan memperkeruh situasi. Orang-orang
menjadi lebih nervous.
Dalam situasi kritis, orang banyak kerap kehilangan harapan. Tugas pemimpin lah untuk membuat orang-orang tetap memiliki harapan. Barangkali situasi kritisnya begitu hebat sehingga orang nyaris tak melihat peluang apapun untuk menemukan jalan keluar. Pemimpin dapat memberi gambaran mengenai besarnya tantangan yang dihadapi, tapi di saat yang sama ia menawarkan respons yang memberikan harapan.
Di saat banyak orang kehilangan arah, pemimpin memberikan
perspektif mengenai situasi. Ia juga mampu menunjukkan jalan yang harus
dilalui untuk keluar dari situasi. Ia menebarkan inspirasi kepada
banyak orang yang kalut dan mungkin putus asa. Contohnya dalam soal
korupsi, ketika masyarakat nyaris putus asa karena para koruptor
melenggang kangkung bersama penegak hukum yang mampu disogok, maka
pemimpin sejati akan menunjukkan bahwa masih ada matahari di balik kabut
hitam, bahwa masih ada jalan untuk keluar dari segala kesulitan.
Pemimpin yang kreatif akan mencari jalan yang tak biasa untuk keluar dari situasi kritis. Baginya, cara-cara yang biasa tidak memadai sebagai bentuk respons. Dan ia menunjukkan jalan tersebut agar anggota tim atau masyarakat mengikutinya.
Namun semua itu bergantung kepada penilaian pemimpin terhadap situasi yang tengah dihadapi: apakah menurut dia situasi sudah tergolong kritis atau belum. Orang lain mungkin menganggap situasi sudah kritis, tapi si pemimpin beranggapan bahwa situasinya normal belaka. Di sinilah, kepekaan indera si pemimpin diuji.
Bila
yang terjadi adalah bencana alam, seperti banjir bandang, mungkin si
pemimpin segera tergerak untuk bertindak. Tapi, bagaimana jika fenomena
yang muncul adalah justru karena tiadanya kepercayaan antara pemimpin
dengan yang dipimpin, antara pimpinan perusahaan dengan pekerja, anatara
dunia usaha dengan pemeritah dan seterusnya?
Dalam acara kick-off suatu program perusahaan yang saya fasilitasi belum lama ini, tampak hadir puluhan orang yang mewakili seluruh jajaran perusahaan, dari level Senior Manajemen (BOD), Manager, Supervisor maupun Staff. Acaranya berlangsung dengan lancar dan tertib. Sampai suatu ketika salah seorang yang hadir, seorang Manager, menginterupsi, menggugat dengan sinis mengapa sih harus melakukan program itu, menanyakan apa sih manfaat program yang baru saja di launch tersebut.
Dengan nada agak tinggi, Manager tersebut mengungkapkan kekesalannya bahwa perusahaan telah melakukan banyak sekali program dan inisiatif, mengeluarkan biaya besar untuk konsultan. Hasilnya? Tidak jelas. Mereka tidak merasakan manfaat dari program/inisiatif yang telah dilakukan perusahaan selama ini. Yang mereka rasakan hanya tambahan beban pekerjaan.
Apa yang diungkapkan oleh Manager tersebut merupakan salah satu bentuk kurangnya kepercayaan (Trust) karyawan kepada Manajemen. Kurangnya kepercayaan merupakan akumulasi kekecewaan, persepsi berdasarkan pengalaman atas program/inisiatif terdahulu.
Mereka mencurigai adanya agenda tersembunyi, ada udang di balik batu, ada kepentingan-kepentingan tertentu yang dibungkus dengan program perusahaan yang kelihatannya menarik.
Kepercayaan sangat terkait dengan efektivitas. Dalam
hidup ini banyak hal-hal baik yang sangat penting maupun yang kelihatan
remeh temeh kita lakukan hanya karena kita percaya saja. Dirumah,
disekolah, di kantor, dalam pergaulan, sampai dengan kegiatan-kegiatan
ibadah kita lakukan dengan percaya saja. Di jalan misalnya, ketika kita
sedang menuju ke kantor tiba-tiba ada lampu lalu lintas menunjukkan
warna merah menyala kita harus menghentikan laju kendaraan kita
seberapun terburu-burunya kita. Di peasawat udara yang kita tumpangi,
kita kan percaya saja kepada pesawat bahwa dirawat dengan baik, percaya
saja kepada sang pilot yang akan membawa kita ke bandar udara ke kota
tujuan kita dan bukan ke kota yang lain, percaya saja bahwa sang pilot
kompeten menerbangkan pesawat, dan berbagai hal yang kita dasarkan hanya
dengan percaya saja. Coba, pikirkan betapa tidak efektipnya kita ketika
misalnya kita ke kantor naik mobil dan karena kita hanya melakukan dan
menggunakan sesuatu berdasarkan pengertian dan ilmu yang kita
benar-benar ketahui maka seluruh sistim dalam mobil tersebut harus kita
sendiri uji dulu, sistim permesinan, sistim kemudi, sistim rem dan
sebagainya. Jadi jika kita berprinsip hanya melakukan sesuatu hanya
berdasrakan jika sesuatu tersebut kita ketahui maka seharusnya ke kantor
dengan berjalan kaki, itupun bagaimana mekanisme tubuh kita saat
berjalan kita bisa ketahui sepenuhnya kita bisa ketahui masih menjadi
suatu pertanyaan juga. Sungguh tidak efektipnya hidup kita jika kita
berprinsip seperti itu.
Kita percaya saja kepada lampu lalu lintas
bahwa ketika mendapat kesempatan berjalan saat lampu hijau disisi
berlawan arah lampu menyala berwarna merah dan mereka haru berhenti.
Kita percaya saja kepada sistim canggih yang ada dalam pesawat terbang,
percaya kepada pilot baik kompetensi maupun kemana arah yang ditujunya.
Percaya membuat banyak hal dilakukan secara efektip dan efisien.
Tidak ada sifat atau karakteristik yang lebih penting daripada kepercayaan.
Sebagai pemimpin, apalagi dalam keadaan krisis sekarang ini, kepercayaan menjadi sangat penting atau bahkan mungkin karena kurangnya kepercayaan inilah yang menyebabkan terjadi krisis tersebut. Sebagai pemimpin, kecepatan kita mendapatkan kepercayaan, dari bawahan, rekan, atasan, bahkan lebih luas juga termasuk kepercayaan dari mitra dan masyarakat akan menentukan efektivitas kepemimpinan yang diemban.
Jack Alenzo
Sebagai pemimpin, apalagi dalam keadaan krisis sekarang ini, kepercayaan menjadi sangat penting atau bahkan mungkin karena kurangnya kepercayaan inilah yang menyebabkan terjadi krisis tersebut. Sebagai pemimpin, kecepatan kita mendapatkan kepercayaan, dari bawahan, rekan, atasan, bahkan lebih luas juga termasuk kepercayaan dari mitra dan masyarakat akan menentukan efektivitas kepemimpinan yang diemban.
Jack Alenzo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar