Diri “Yang Diharuskan” VERSUS Diri Ideal

Didalam buku The Hungry Spirit: Beyond Capitalism, A Quest for Purpose in the Modern World, Charles Handy Menggambarkan kesuliatan berkontak dengan diri idealnya sendiri.
             
Saya menghabiskan awal kehidupan saya dengan berusaha keras untuk menjadi orang lain. Di sekolah, saya ingin menjadi atlet hebat, di universitas saya ingin menjadi selebriti yang dikagumi, sesudahnya saya ingin menjadi pebisnis, dan kemudian, sebagai kepala lembaga besar. Tidak dibutuhkan waktu lama untuk menemukan bahwa saya tidak ditakdirkan untuk mewujudkan keinginan-keinginan itu, tetapi ini tidak menghambat saya untuk tetap berusaha, dan selalu kecewa pada diri sendiri.
            
Masalahnya adalah ketika berusaha usaha untuk menjadi orang lain, saya lalai untuk memusatkan perhatian pada “saya bisa menjadi apa”. Pada saat itu, ide  ini terlalu menakutkan untuk direnungkan. Saya lebih senang berjalan bersama pandangan umum yang berlaku saat itu, mengukur sukses dengan uang dan jabatan, mendaki tangga yang dipasang orang lain, mengumpulkan benda-benda dan relasi, dan bukan mewujudkan keyakinan serta kepribadian saya sendiri.
   
        
Pengakuan yang mencerahkan ini datang dari seseorang yang sangat berhasil sebagai eksekutif dalam dunia industri, pemimpin London Business School, Ketua Royal Society of the Arts, dan seorang profesor serta pengarang yang berpengaruh di tingkat dunia. Tetapi seperti Charles Handy, selama perjalanan hidup yang sibuk, banyak orang yang terbujuk pleh ide kekuasaan atau kemasyhuran, atau menyerahkan diri pada harapan orang lain.

Ketika orangtua, pasangna hidup, pimpinan, atau guru mengatakan bahwa kita harus menjadi orang tertentu, sebenarnya mereka memberikan versi mereka tentang diri ideal kita, sebuah gambaran yang turut menyumbang gambaran diri “yang diharuskan” yaitu pribadi yang kita kira adalah pribadi ideal kita. Ketika kita menerima diri yang diharuskan itu, maka pengharapan itu akan menjadi kotak yang memerangkap kita sosiolog Max Weber menyebutkan sebagai “kerangkeng besi” mengelilingi kita dengan tembok yang tidak kasatmata. Efek yang sama terjadi di dalam organisasi di mana anggapan yang umum adalah orang ingin maju dengan bergerak “menaiki” tangga karier di tempat kerja, dan bukannya mengenali bahwa orang itu mungkin memiliki impiannya sendiri dan rumusannya sendiri tentang keberhasilan. Anggapan seperti ini akan mudah menjadi unsur-insur diri yang diharuskan.
            
Dengan berjalannya waktu, orang bisa mati rasa terhadap diri idealnya; visinya menjadi kabur, dan mereka tidak bisa lagi melihat impiannya. Tekanan tanggung jawab untuk membayar tagihan, uang sekolah anak, keinginan untuk mempertahankan gaya hidup tertentu, semuanya bisa mendorong orang memilih jalan tertentu, terlepas apakah mereka yakin bahwa jalan itu akan membantu mereka mencapai impiannya atau tidak. Mereka menjadi mati rasa terhadap gairahnya, dan cenderung lebih berkubang dalam yang sekarang ini mereka lakukan. Contoh klasiknya yang terlihat pada banyak profesional yang dibesarkan di dalam budaya yang sangat tradisional adalah seseorang yang menjalani karier tertentu hanya karena orangtuanya berkata bahwa ia harus melakukannya. Seseorang yang kami kenal berasal dari India dibesarkan dalam keluarga seperti ini; ia sangat menyukai musik, tetapi taat mematuhi keinginan keluarganya untuk menjadi dokter gigi, seperti ayahnya. Akhirnya, ia meninggalkan prakteknya di Mumbai, pindah ke New York, dan dengan bahagia menjalani hidupnya sebagai pemain sitar.
            
Akan mudah sekali orang mencampuradukkan diri yang diharuskan dan diri yang ideal, dan bertindak dengan cara-cara yang tidak otentik. Itulah sebabnya mengapa di dalam proses pengembangan kepemimpinan, langkah menemukan diri ideal ini begitu penting. Tetapi banyak program pengembangan kepemimpinan yang berdasarkan pada anggapan bahwa orang Cuma ingin memaksimalkan kinerjanya. Mereka tidak melakukan penjelajahan yang penting ini dan lalai mengaitkan tujuan pembelajaran pribadi dengan impian serta aspirasi masa depan. Jika terjadi kesenjangan antara diri ideal dengan tujuan pelatihan, akibatnya adalah sikap apatis atau membrontak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar