Insiden Taman Bungkul : Sebuah Pelajaran Branding

7 Cara Membangun Merek yang Kuat dan Terkenal | Toffeedev
 
Minggu, 11 Mei 2014, Surabaya menjadi perbincangan nasional karena sebuah kejadian yang membuat ibu Tri Risma Harini, TRH (untung nama beliau bukan Tri Harini Risma ..), marah besar. Kejadian itu melibatkan sebuah merek es krim yang lumayan terkenal dan semakin terkenal gara-gara kejadian kemarin. Perusahaan itu bermaksud mengadakan promosi produk dengan cara membagikan es krim GRATIS. Promosi diadakan di salah satu taman kota terbesar dan terindah di Asia Tenggara, Taman Bungkul.

Setiap upaya promosi pasti diarahkan kepada tujuan agar konsumen menerima dan mengerti produk yang dipromosikan dengan baik. Promosi kemarin juga mempunyai tujuan itu, namun pelaksanaannya tidak berjalan sesuai harapan. Ribuan orang membanjiri Taman Bungkul dari segala penjuru kota. Jalan-jalan ke arah pusat kota menjadi mampet, lebih dari sekedar macet. Puncaknya, mereka yang sudah berhasil menginjakkan kaki di Taman Bungkul, pada kesurupan, lupa diri, dan menghancurkan tanam-tanaman yang nilainya lumayan mahal. Murkalah ibu walikota.

Siapa yang salah?


Kalau kita mencoba mencari siapa yang salah, ribet. Pemilihan presiden 2014 sudah cukup meribetkan rakyat. Kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi belakangan ini juga sudah menambah keribetan di tengah masyarakat. Haruskah kita menambahi keribetan dengan mencari-cari kesalahan?
Mending kita tarik pelajaran dari kasus tersebut. Untuk kali ini kita mencoba untuk mengambil pelajaran brand dan branding.

Mari kita diskusikan pelan-pelan saja.

Beberapa rekan praktisi customer service banyak mencela pihak Unilever dengan es krim Wallsnya. Mulai dari tuduhan tidak menjaga brand image sampai sumpah untuk tidak lagi mengonsumsi es krim dengan merek tersebut. Apa benar brand-image Walls tercedarai parah? Apa benar Walls tidak menjaga brand-image tadi?

Secara pribadi, saya menilai brand-image Walls tidak akan tercedarai dengan parah. Ibarat kecelakaan, Walls ini Cuma kesandung batu kecil dan agak sakit di ujung jari kaki (dan itupun tidak semua). Dari segi brand value, market leadership, dan pilar-pilar merek lain, Walls sangat superior. Jarangnya kompetitor besar di segmen tersebut juga membuat posisinya lumayan aman. Banyak brand-brand dunia yang pernah mengalami ‘kecelakaan’ yang cukup berat dan masih tetap bisa recover. Sebuah merek otomotif terkemuka bahkan beberapa kali membuat kesalahan produksi dan perlu menarik produk-produknya dari pasar, dan mereka tetep baik-baik saja.

Berarti pelanggan es krim merek ini tidak akan meninggalkan mereka?

Berarti konsumen mereka tetep bakal loyal kepada mereka ya?

Nah ini dia. Dalam dunia marketing dan service excellence, banyak orang yang sering mencampur adukkan masalah loyalitas konsumen (customer loyalty) dan mempertahankan konsumen (customer retention). Penasaran? Lain kali deh kita diskusikan posisi customer loyalty dan customer retention. Sekarang kita fokus dulu pada masalah branding dari kejadian kemarin.

Sekali lagi brand image mereka tetap utuh atau, maksimal, lecet dikit lah. Paling tidak, itu yang terjadi sampai saat ini, karena brand image itu terkait erat dengan budaya dasar perusahaan. Saya tidak sedang membicarakan budaya dasar perusahaan yang tertulis (exposed values) tetapi pemikiran serta sikap yang ada dalam keseharian mereka (shared assumptions). Kalau dalam budaya dasar perusahaan mereka mempunyai kebiasaan bertanggungjawab dan bersikap akuntabel, maka kita akan melihat satu tindakan teladan yang akan mereka lakukan terkait insiden kemarin.

Melihat suatu masalah bisnis dari sudut service excellence itu selalu menarik. Setiap masalah selalu mempunyai dua potensi bagi brand. Potensi pertama adalah hilangnya kesempatan. Potensi kedua adalah terbukanya sebuah kesempatan. Itu semua tergantung bagaimana bisnis tersebut (atau orang-orangnya) merespon masalah itu. Terkait situasi di atas, bila pihak pemegang merek berhitung untung rugi dan meminggirkan unsur akuntabilitas, maka merek pesaing bisa mengambil kesempatan dengan melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh si pemegang merek itu tadi. Jika itu terjadi, (pesaing mengambil kesempatan), saat itulah si es krim merek tadi akan mengalami kerugian yang signifikan. 
 
Semua kembali kepada pihak pemegang merek. Mereka bisa melakukan hal yang patut diteladani, dan bisa menguatkan brand, walaupun secara mendasar mereka tidak (atau belum) mengalami gangguan bisnis yang berarti dari insiden kemarin. Mereka juga bisa memilih untuk membiarkan hal ini selesai di meja pengadilan (apabila pihak pemerintah kota benar-benar melakukan tuntutan) dan bersikap seadanya, dengan resiko pesaing mengambil inisiatif yang bisa mempengaruhi bisnis mereka.

Kita tunggu saja pelajaran branding selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar