Menggerakkan mesin hanya membutuhkan waktu dalam hitungan menit, tapi mengubah cara berpikir (mind set) dan bertindak seseorang memerlukan waktu bertahun-tahun.
Salah satu resep manjur dari Toyota adalah menciptakan budaya
perusahaan yang berpusat pada sumber daya manusia (SDM). Setelah melalui
praktik, riset, dan dokumentasi yang sungguh-sungguh dalam waktu yang
relatif lama, ditemukanlah formulanya, yakni dengan memilih,
mengembangkan, dan memotivasi karyawan agar berkomitmen untuk
menciptakan produk berkualitas tinggi.
“Semua itu bisa terjadi manakala pihak manajemen melihat SDM sebagai jantung dan jiwa Toyota Way,” kata Juwono Andrianto, Senior Advisor Executive Toyota.
Pada The Toyota Way, Toyota memperkenalkan model revolusioner 4P untuk kecemerlangan organisasi, yakni Philosophy, People, Process, dan Problem Solving.
Toyota Culture meneliti “sistem manusia” yang telah
diciptakan Toyota untuk menyuntikkan prinsip-prinsip dasarnya, yaitu
kepercayaan, kesejahteraan bersama, dan kesempurnaan di dalam
pabrik-pabrik, dealer, dan kantor-kantornya di seluruh dunia.
Dimulai dengan menelaah evolusi budaya Toyota dan mengapa SDM merupakan
jantung dan jiwa Toyota Way, yangs menjelaskan proses empat
tahap Toyota dalam mengembangkan dan mempertahankan SDM berkualitas:
menarik, mengembangkan, melibatkan, dan menginspirasi.
Inti dari budaya Toyota adalah menghargai orang dan melakukan
perbaikan terus menerus. Karyawan selalu ditumbuhkan semangat untuk terus
memperbaiki (kinerja), tidak statis atau diam begitu saja, baik secara
individu maupun team work. Dan karyawan harus siap menghadapi tantangan (challenge) dengan keberanian dan kreativitas untuk mewujudkan mimpi-mimpi bersama.
Toyota berpegang teguh dalam menegakkan prinsip atau filosofi “Kaizen”. Kaizen merupakan istilah dalam bahasa Jepang yang bermakna “perbaikan berkesinambungan”. Filsafat kaizen berpandangan bahwa hidup kita hendaknya fokus pada upaya perbaikan yang terus-menerus.
Pada penerapan dalam perusahaan, kaizen mencakup pengertian
perbaikan berkesinambungan yang melibatkan seluruh pekerjanya, dari
manajemen tingkat atas sampai manajemen tingkat bawah yang selalu memperbaiki
bisnis-bisnis perusahaan secara terus-menerus.
Tak kalah penting dalam continuous improvement adalah konsep genchi genbutsu. Definisi harfiah genchi genbutsu dari bahasa Jepang adalah go and see the problem. Genchi genbutsu
bukan sekadar teori, melainkan lebih menekankan pada praktik di mana
kita harus langsung mendatangi masalah untuk mengetahui masalah
tersebut.
Taichii Ohno, penemu Toyota Production System (TPS), menggambarkannya
dengan cara membedakan konsep data dengan fakta. “Ia selalu menekankan
pentingnya genchi genbutsu, yakni pergi langsung ke sumber, tempat kejadian atau gemba, dan menyaksikan langsung masalah yang terjadi.
TPS telah diimplementasikan di ribuan perusahaan di seluruh dunia
dengan berbagai derajat keberhasilan. Namun, pada umumnya mereka
menyatakan, masih belum ada yang bisa melakukannya sebaik Toyota.
Mengapa? Apa ini sulap?
Menurut Pete Gritton, Vice President of HR Toyota Engineering and Manufaturing of North America,
hal itu terjadi karena kebanyakan
perusahaan itu gagal melihat “aliran darah” TPS, filosofi, dan strategi
sumber daya manusia yang membuat TPS sukses diterapkan di Toyota.
Apabila ada sulap dalam sistem itu, kata Gritton, maka sulap itu
adalah implementasi filosofi sumber daya manusia yang berhasil. Ia mampu
menciptakan keyakinan dan keterlibatan setiap individu yang ada untuk
menjalankan sistem yang sesederhana itu namun berbelit-belit.
Gritton mempelajari dari orang Jepang
itu adalah makna sesungguhnya dari menghormati orang dan mengembangkan
mereka agar terus-menerus bertambah baik. Tentu saja, hal ini
membutuhkan kesabaran, pandangan jangka panjang, fokus pada proses, dan
kemampuan untuk memahami di mana individu berada dalam perkembangannya.
Menggerakkan mesin hanya membutuhkan waktu dalam hitungan menit, tapi
mengubah cara berpikir dan bertindak seseorang memerlukan waktu
bertahun-tahun. Menurut Gritton, apa yang mereka sebut budaya adalah
cara berpikir dan bertindak secara otomatis setiap harinya. Setelah
bertahun-tahun, ini akan mendarah daging dalam diri Anda.
“Sebagai contoh, memecahkan masalah melalui alur plan-do-check-act tampak lebih alamiah bagi saya sekarang dibandingkan dengan melompat dan berjuang habis-habisan,” tutur Gritton.
Namun, Gritton dari awal mengingatkan, jangan hanya menyalin Budaya Toyota ke dalam organisasi Anda. Ketika ia memulai
pabrik pertama yang dimiliki sepenuhnya oleh Toyota di Amerika, mereka
tidak bisa hanya menyalin kebijakan dan prosedur-prosedur dari Jepang ke
dalam pabrik tersebut.
Para pelatih yang didatangkan dari Jepang tidak menginginkan mereka
menyalin, melainkan mempelajari, mengadaptasi, dan memperbaiki. “Kami
menghabiskan bertahun-tahun, melalui uji coba, berbuat kesalahan, dan
diskusi yang intens, mengidentifikasi sistem-sistem dan prinsip-prinsip
kunci yang tidak dapat ditinggalkan atau mengubah dan mencangkokkan
mereka. Kemudian menciptakan sesuatu yang baru untuk mencocokkan bisnis
kami dan orang-orang kami,” katanya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar