Positif dan Negatif

Psikologi Positif dan Negatif - Universitas Airlangga Official Website 
 
Jika nilai-nilai hidup kita sejalan dengan hukum alam, hasil yang akan kita petik tentu lebih banyak yang positif.

“Syukurlah, manajemen akhirnya menaikkan gaji kita,” kata Posi dengan wajah cerah. Senyumnya mengembang tanpa henti seraya menimang-nimang amplop berisi gaji yang baru diterimanya.

“Tetapi kenaikkan 17 persen itu tak ada artinya jika di-banding kenaikan kebutuhan hidup sehari-hari,” tanggap Nega yang berjalan beriringan dengan Posi. “Premium saja naik lebih dari 42 persen. Seharusnya manajemen menyesuaikan gaji kita kali ini sedikitnya 50 persen baru cocok,” lanjut Nega tak puas. Ia lalu mengingatkan Posi bahwa penyesuaian gaji itu tak ada artinya karena tahun lalu tak ada penyesuaian sejenis. “Jika dihitung dengan inflasi tahun terakhir ini saja, kita masih tekor terus,” Nega mengeluh. Wajahnya ditekuk bagai sedang bermuram durja, dan dari kejauhan mereka berdua mirip beauty and the beast.

“Mas Nega tidak seharusnya mengeluh terus. Rejeki itu harus disyukuri. Semua itu berkah Gusti Allah. Artinya jerih payah kita sebagai wong cilik masih dihargai. Kita tak harus demonstrasi atau mogok seperti rekan-rekan di perusahaan lain,” papar Posi mencoba meredakan emosi rekan sekampungnya itu.


“Ah, kamu itu memang bodoh. Kita cuma dielus-elus manajemen agar tak ikut aksi mogok. Seharusnya kita melakukan itu sejak tahun lalu. Coba hitung jam kerjamu setiap hari, hampir selalu lebih dari 10 jam bukan? Belum lagi waktu yang kita habiskan di bus kota yang penuh keringat saat ngantor dan pulang ke rumah. Kita ini dijadikan sapi perahan terus, Dik Pos. Kerja keras bagian kita, tapi hasilnya diembat bos-bos di atas sana. Itu tidak adil, Dik. Kalau di perusahaan lain, orang seperti kita mungkin bisa dapat gaji lebih baik,” jawab Nega ngotot.

“Waduh, Mas Nega ini curigaan terus. Wong gaji di level supervisor ke atas itu hanya naik 15 persen lho Mas,” sanggah Posi lugu.

“Iya, iya. Tapi mereka itu kan banyak seserannya. Tugas luarlah, entertainment-lah, komisilah. Itukan seabrek-abrek. Lah kita?”

Perbincangan Posi dan Nega di atas fiktif adanya. Namun tidakkah selalu kita temui orang-orang yang mewakili figur semacam itu dalam keseharian kita? Atau tidakkah kita sering kali juga memilih sikap-sikap semacam itu saat pengumuman kenaikan gaji disampaikan pimpinan perusahaan?

Sesungguhnya, Posi mewakili kemampuan kita untuk melihat sisi positif dari setiap peristiwa yang datang menjemput. Ada yang menyebutnya sebagai sikap positif, cara berpikir positif, realistis dan seterusnya. Sementara Nega mewakili kapasitas kita untuk memfokuskan diri pada sisi negatif kehidupan, cenderung menuntut, tak pernah merasa puas, enggan bersyukur dan selalu ingin lebih dan lebih tanpa mengetahui batas. Jelasnya, Posi dan Nega adalah dua sisi yang nangkring dalam diri kita sendiri dan tak kunjung akur sampai mati.

Sikap hidup kita pada dasarnya dipengaruhi oleh pilihan pengembangan dua sisi yang selalu bersitegang dalam diri kita sendiri. Jika kita lebih sering (karena untuk selalu mungkin mustahil) memfokuskan diri pada aspek-aspek yang menguntungkan dan menggembirakan atau memberi pelajaran dalam setiap peristiwa yang tak kita sukai sekalipun, maka sikap positif menjadi dominan. Sikap semacam ini memudahkan kita untuk menikmati pekerjaan dan kehidupan, memanjatkan puji syukur pada Tuhan, menggairahkan harapan dan meningkatkan motivasi berkarya.

Sebaliknya juga benar. Andaikata fokus perhatian kita lebih sering menjurus (karena dibiasakan, sehingga seolah-olah tak mungkin lagi diubah) pada aspek-aspek yang merugikan, menyulitkan, menjengkelkan, menyakitkan hati, dan mencemaskan, maka sikap negatiflah yang dominan. Sikap ini melemahkan semangat, menggelitik hasrat untuk berkeluh kesah tanpa akhir, mengutuki diri (atau orang lain, bahkan bisa juga Tuhan), bermuram durja, minder atau arogan, selalu cemas dan resah gelisah dan seterusnya.

Sudah barang tentu menjalani kehidupan dengan sikap yang positif jauh lebih menyenangkan. Masalahnya adalah mengapa kita tak selalu berhasil bersikap demikian?

Menurut Anthony Robbins, antara lain karena sikap (attitude or belief ) kita dipengaruhi sedikitnya oleh lima hal berikut:
1.     kejadian traumatis di masa lalu;
2.     hasil yang diperoleh sebelumnya;
3.     keluasan wawasan pengetahuan;
4.     situasi lingkungan terdekat;
5.     dan visi kehidupan pribadi.

Masing-masing unsur memberikan pengaruh yang akhirnya membentuk kecenderungan kita dalam menyikapi persoalan hidup yang menghadang.

Sementara Stephen Covey, penulis Principle-Centered Leadership, menekankan pengaruhi nilai-nilai yang kita anut. Artinya, apakah nilai-nilai yang kita anut itu kita selaraskan dengan hukum alam, dan dengan prinsip-prinsip yang bersifat universal, tak terbatas waktu, dan memberdayakan bila dimengerti. Jika nilai-nilai kita sejalan dengan hukum alam, maka hasil-hasil yang akan dipetik tentu akan lebih banyak yang positif.

Untuk mengembangkan sikap positif secara konstruktif (tidak asal positif dan naif) baiklah disadari bahwa kita selalu memiliki kekuatan untuk menentukan fokus pilihan dalam bersikap (freedom to choose). Suatu kekuatan yang unik, sebab hanya manusialah yang memilikinya. Berdasarkan kesadaran tersebut kita dapat “membentuk” lima faktor yang mempengaruhi sikap seperti disebutkan Robbins. Menilai ulang peristiwa-peristiwa traumatis dengan paradigma baru, menginventarisasi hasil-hasil cemerlang yang pernah kita raih, menambah pengetahuan dengan belajar (membaca adalah salah satu cara yang efektif), bergaul dalam lingkungan orang-orang yang memiliki concern serupa, dan menguatkan visi kehidupan yang berpengharapan pada Tuhan.

Ada harga yang harus dibayar untuk itu. Kita perlu melatih diri secara berkesinambungan dan tekun. Namun, latihan mendisiplin diri agar terbiasa bersikap positif itu layak kita perjuangkan. Sebab, meminjam kalimat Dr. Samuel Johnson, “Kebiasaan untuk melihat sisi terbaik pada setiap peristiwa bernilai lebih dari ratusan juta setiap tahunnya.” [*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar