Sang istri kemudian berkata, “Sudah jangan sedih Pak, Kita kan
bekerja dalam rangka menjemput rizki dari Allah, kalau kita niatkan kita
bekerja ikhlas, semata-semata mencari ridha Allah, insya Allah tak ada
yang perlu kita takutkan. Karena kita yakin akan pertolongan Allah
Swt… Ibu percaya Bapak telah bersungguh-sungguh bekerja keras untuk
keluarga, insya Allah semua ada jalan keluar…”
Pak Tono merenungkan kata-kata istrinya. Ikhlas? Bekerja semata-mata mencari ridha Allah? Astaghfirullah…
Pak Tono tersadar, niat ikhlas ini tidak ia miliki… Selama ini
motifnya bekerja adalah mencari uang sebanyak-banyaknya, hanya demi
kesejahteraan keluarga. Karena itu hatinya kini begitu resah, penuh
ketakutan… Padahal jika ia ikhlas, bekerja semata-mata karena Allah,
mencari ridha-Nya, tentu hatinya akan tenang, dan ia akan yakin bahwa
Allah akan selalu menolong hamba-nya yang ikhlas… Tak terasa air matanya
pun menitik…
Ikhlas adalah salah satu buah dari tauhid
yang sempurna kepada Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi. Demikian
Menurut Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya Al-Niyyah wa Al Ikhlas.
"Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan" (QS. Al-fatihah [1] : 5).
Setiap harinya kita mengucapkan kalimat ini dalam Shalat kita sebanyak 17 kali! Dan ini tentu bukan cuma sekedar ucapan tanpa maksud. Tapi jelas, bahwa Allah menginginkan kita sebagai hamba Allah yang sebenar-benarnya.Hamba yang ikhlas, yang melakukan semua amal perbuatannya hanya karena Allah Swt…
Dan bukankah dalam shalat kita juga mengucapkan “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku, semuanya hanya untuk Allah?”
Tapi kenyataannya, sangat sulit merealisasikan ikhlas dalam setiap perbuatan kita. Niat segala perbuatan kita ternyata bukan lagi untuk mencari ridha Allah. Tapi niat kita adalah untuk mencapai kepentingan pribadi, dan kepentingan duniawi. Niat Ikhlas ini seringpula disusupi oleh sifat ujub dan riya’. Perbuatan kita lakukan untuk membanggakan diri, dan ingin dipuji oleh manusia. Ya, mencari ridha manusia.
Allah Swt berfirman, “Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia, dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” (QS. Ali-Imran [3]: 152)
“Katakanlah, Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orangyang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. “(QS. Al-Kahfi [18] : 103-104)
Dalam sebuah Hadis dikisahkan bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang orang yang berperang dengan tujuan untuk mencari pahala Allah dan pujian dari manusia. Lalu Rasulullah SAW menjawab tiga kali, ”Tidak ada apa-apa baginya," dan beliau melanjutkan, "Sesungguhnya Allah tidak menerima sesuatu amal kecuali yang dilakukan denagn ikhlas dengan mencari ridha-Nya."
Menyembunyikan amalan dan menampakkan amalan, keduanya adalah suatu kebaikan selama seseroang mengikhlashkan niatnya
Kita perlu mengingat, bahwa Allah berfirman:
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari, secara tersembunyi maupun TERANG-TERANGAN, maka mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(Al-Baqara: 274)
Demikian juga dengan firmanNya:
Jika kamu MENAMPAKKAN sedekah(mu), maka itu adalah BAIK.
Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu LEBIH BAIK BAGIMU.
(Al-Baqara: 271)
Maka keduanya adalah KEBAIKAN, akan tetapi, yang satu LEBIH UTAMA daripada yang lain, SELAMA ia melakukan IKHLASH karena Allah, dan menjaga dirinya dari tujuan duniawi.
Janganlah mencela orang yang terang-terangan beramal, karena ENGKAU TIDAK MENGETAHUI ISI HATINYA
Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘amnhu dia berkata;
“Setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan kami untuk bersedekah, maka Abu Uqail bersedekah dengan satu sha’, dan datang seseorang dengan membawa lebih banyak dari itu, lalu orang-orang munafik berkata;
“Allah Azza Wa Jalla benar-benar tidak membutuhkan sedekah orang ini, orang ini tidak melakukannya kecuali dengan riya’. Lalu turun ayat:
‘Orang-orang munafik itu yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekadar kesanggupannya.”
(Qs. At Taubah 9: 79).
(HR. An Nasaa-iy; Shahiih, dishahiihkan syaikh al-albaniy dalam shahiih an nasaa-iy; redaksi serupa juga ada dalam shahiih bukhariy)
Telah jelas juga firmanNya:
Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.
(At-Tawbah: 91)
Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam, bersabda
أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا
“Apakah engkau sudah membelah dadanya sehingga engkau tahu apakah hatinya berucap demikian atau tidak?”
(HR. Muslim)
Apalagi ada amalan tertentu yang mengharuskan kita harus tampil dan kelihatan sama orang lain, misalnya Muadzin, Imam shalat, Khotib Jum'at, dan disini tidak perlu mempersoalkan hati masing-masing orang karena sudah menjadi bagian yang tidak harus kita persoalkan, karena hanya Allah yang maha mengetahui hati dan niatan seorang hamba
Bagaimana jika seseorang yang telah berusaha menyembunyikan amalannya, namun ketahuan juga?!
Ketahuilah pula, dari Abu Hurairah dia berkata:
Seseorang berkata: Wahai Rasulullah ada seseorang yang berbuat suatu amal kemudian dia rahasiakan namun apabila diketahui oleh orang dia menjadi takjub karenanya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
“Baginya dua pahala; pahala dia merahasiakan dan pahala dia menampakkan.”
(HR. at Tirmidziy)
at Tirmidziy berkata:
“Sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini dan berkata: Apabila diketahui dan dia takjub karenanya maka itu artinya dia takjub dengan pujian baik orang-orang kepadanya, karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
‘Kalian adalah saksi-saksi Allah di bumi.’
–HR. Bukhariy dan Muslim–
Alhasil, pujian manusia terhadapnya, memang hanyalah sekedar untuk syahadat (persaksian manusia) yang diharapkan.
Maka, jika kita telah mengusahakan dari menyembunyikan amal, tapi kepergok (terlihat atau terdengar, bukan atas dasar kemauan kita); maka pertahankanlah keikhlashan, jauhilah ujub, riya’ dan sum’ah; dan harapkanlah DUA PAHALA, pahala sembunyi-sembunyi, dan pahala terang-terangan Semoga bermanfaat.
Agar ibadah kita diterimaNya
Sesungguhnya Allah hanya menerima IBADAH seorang hamba yang BENAR-BENAR memurnikan keikhlashan dalam amalnya tersebut, dan ibadah tersebut sesuai dengan tuntunan RasulNya.
Jika ada kadar 0,01 % kekotoran syirik dalam amalan tersebut, maka Allah tidak akan menerima amalan tersebut! jika amalan tersebut diamalkan tidak seperti apa yang Ia syari’atkan melalui RasulNya, maka amalnya tertolak.
Dalilnya:
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak menerima satu amalan kecuali dengan ikhlas dan mengharap wajahNya.”
(HR. an-Nasa’i dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu, sanadnya hasan, dihasankan oleh al-Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada dasar dari kami maka amalan itu tertolak.”
(HR. Muslim)
Allah memfirmankan doa khalilNya:
“Ya Rabb kami terimalah dari kami (amalan-amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Al-Baqara: 127)
Jika Ibrahim al-khalil ‘alayhis salaam yang amalnya sudah jelas keikhlashannya dan sudah jelas beramal sesuai tuntunan rabbnya berdoa dengan doa ini, lantas bagaimana dengan kita?!
Sesungguhnya orang beramal, KEMUDIAN ia LUPA bahwa ia membutuhkan amal tersebut UNTUK DIRINYA, maka sangat mungkin ia akan lalai dalam mengawasi dirinya, sangat mungkin ia lupa melihat apa yang ada dalam dadanya, sehingga sangat mungkin ia beramal dengan malas, dan hanya menginginkan kehidupan duniawi dari amalannya tersebut. Dengan begitu, maka ia telah teracuni penyakit, dari penyakit-penyakit kemunafikan. Allahul musta’aan
(Yusuf Mansyur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar