Jadi Pemimpin Jangan Loyo

Tidak Suka Menawarkan Diri Jadi Pemimpin 

Jurgen, kepala sebuah bank Swiss, sedang menghadapi krisis komitmen. Banknya berjalan dengan cukup baik, tetapi tidak semua tim manajemen puncaknya bekerja dengan penuh gairah, dan beberapa di antaranya bahkan merasa merasa tidak cocok dengan pekerjaannya. Jurgen tahu dia tidak bisa mengubah tradisi dan meminta mereka untuk meninggalkan posisinya. Lebih-lebih ia tidak mengetahui apa yang sedang terjadi dibagian lain di banknya. Tidak seorangpun pernah memberinya informasi yang benar, sepertinya mereka takut menyuarakan pendapat yang kontrovensial atau mengkritik. Karena merasa tidak efektif, Jurgen tidak menikmati lagi pekerjaannya; ia merasa bahwa satu-satunya pilihan adalah melepaskan jabatannya.

            

Tetapi selama Jurgen bekerja dengan kami selama enam bulan ia mampu menciptakan visi untuk hidupnya dan kepemimpinannya di bank yang membuatnya bergairah dan terinspirasi kembali. Dan yang sam pentingnya, visi ini juga menginspirasi orang-orang yang dipimpinnya. Jurgen memulai dengan melihat ke dalam merenungkan hidupnya sendiri dan visi pribadinya di dalam serta di luar pekerjaannya. Ia juga mengartikulasikan gambaran yang jernih mengenai realita situasi banknya dan mengapa situasi ini tidak memuaskannya lagi. Usaha membandingkan diri riil dan diri idealnya memberikan lebih banyak kejelasan baginya dan lebih banyak kecemasan, seperti yang diakuinya tentang apa yang perlu berubah. Dan ia mengajukan pertanyaan yang sangat penting kepada dirinya: “Cukup banyakkah yang saya sukai dari perusahaan ini dan orang-orang ini sehingga saya mau bertahan menghadapi kerja keras di masa depan?”
            
Suatu pagi di musim panas, Jurgen berjalan menjelajah alam di sekitar danau Alpen bersama seorang teman dan ia berbicara dengan jujur tentang ketakutannya bahwa mungkin ia tidak bisa melakukan perubahan yang diperlukan. Ia melihat ke masa lalu, masa sekarang, dan masa depan, dan ia mempertimbangkan orang-orangnya, yang beberapa di antaranya sudah bekerja bersamanya selama bertahun-tahun. Ia berpikir tentang masalah-masalah serta komitmennya sendiri dan betapa bagusnya jika ia bisa memperbaiki semuanya. Ia merefleksikan visi ideal pribadinya, dan ia berfokus pada apa yang bisa berubah jika ia kembali ke bank dan sungguh-sungguh berjuang. Pada akhir perjalanan, ia sudah mempunyai jawaban: “Aku bersedia kembali”
            
Keputusan untuk “bersedia” itu menyemangati Jurgen; di lubuk hatinya ia bersentuhan dengan gairahnya untuk memimpin kembali. Dan gairah melahirkan keberanian yang cukup untuk menjalani tugas berat yang menunggu.
            
Tindakan mengenali dan mengartikulasikan diri ideal kita, jalan yang sungguh-sunggu ingin kita jalani dalam hidup seperti yang dilakukan Jurgen membutuhkan kesadaran diri. Tetapi, sekali kita menjelaskan diri ideal, kita akan merangsang harapan inilah “obat”untuk kebiasaan yang mandek. Seperti yang dikatakan oleh Napeleon, “Pemimpin adalah penjual harapan.” Tantangan bagi setiap pemimpin adalah menggapai ke dalam, ke sumber harapan. Di sinilah letak kekuatan untuk membangunkan dan mengartikulasikan gambaran atau visi diri ideal pribadi dan visi bersama yang mengalir darinya dan dengan demikian memimpin orang lain di arah yang sama.
            
Namun, kepemimpinan sperti ini bukan hanya membutuhkan suatu visi, tetapi juga suatu gambaran yang jelas tentang realita yang sedang kita hadapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar